Menuju ke Banda Aceh dari arah timur,  akan melewati jalan yang melintasi pegunungan. Melewati daerah Padang  Tiji, jalan mulai mendaki gunung Seulawah. Pendakian akan terus  berlangsung dengan sudut kemiringan yang kecil, jauh dan lama, hingga  mencapai Simpang Beutong. Disini jalan melewati dataran sejauh beberapa  kilometer, dan mulai mendaki lagi, terjal dan berkelok, lama dan jauh.  Pendakian terjal ini dikenal dengan nama Pendakian Mesin Giling. 
Walaupun kondisi jalan saat ini bagus, kendaraan-kendaraan berat yang  melintas masih terengah-engah mendaki. Truk-truk bermuatan berat berisi  berbagai komoditi dari arah Medan mesinnya meraung-raung, kadang dengan  asap yang cukup tebal, untuk mengeluarkan tenaga ekstra besar yang  diperlukan untuk menaklukkan pendakian. Bus-bus dan kendaraan lain yang  lebih kecil lebih gampang mendaki, melesat kencang melewati jalan. Makin  ke atas, panorama semakin indah. Kalau hari cerah kita bisa menengok  Selat Malaka yang membiru gelap di sebelah kanan, yang nampak begitu  dekatnya sehingga seolah bisa dijangkau. Pendakian mencapai puncaknya di  Pesanggrahan, sekarang menjadi Tahura Cut Mutia. Di sebelah kiri ada  beberapa rumah peristirahatan yang berasal dari jaman kolonial Belanda,  yang masih dalam bentuk aslinya. Sayang, dulunya tidak mendapat  perawatan sehingga menimbulkan kesan rumah tua yang angker. Dari  Pesanggrahan, jalan mulai menurun, dengan kelokan-kelokan tajam yang  rapat. Jalanan datar kembali di jumpai saat memasuki daerah dataran  tinggi Saree. 
Saree  merupakan sebuah kota pesinggahan bagi para pejalan yang menuju Banda  Aceh. Dulunya mayoritas dihuni oleh para transmigran yang ulet mengolah  tanah untuk menghasilkan hasil pertanian. Saat konflik memuncak, mereka  terpaksa dan dipaksa untuk meninggalkan daerah ini karena alasan  keamanan. Tanah gunung yang subur dan cuaca yang dingin membuat berbagai  tanaman pertanian tumbuh dengan baik. Yang sangat terkenal adalah ubi  jalar Saree - orang Aceh menyebutnya boh geupila Saree. Sebenarnya ubi  jalar biasa saja, berwarna ungu campur kemerahan, kadang ada juga yang  berwarna orange. Dijual mentah kiloan di kios-kios dipinggir jalan, ubi  jalar ini menjadi oleh-oleh khas Saree, bersama dengan produk olahannya,  seperti keripik. Selain ubi jalar, beragam produk pertanian memenuhi  kios-kios, menunggu untuk dibeli oleh para penumpang kendaraan yang  melintas. Rentengan jagung mentah, gundukan jagung rebus yang masih  mengepulkan uap panas, kacang tanah rebus beserta akar-akarnya, tape ubi  kayu, dan lain-lain. Ini membuat kota kecil Saree hidup terus selama 24  jam. Warung-warung makanan dan kecai kopi juga tidak pernah tutup.  Bus-bus dan kendaraan lainnya seringkali berhenti sejenak dan membiarkan  menumpangnya untuk beristirahat dan mengisi perut di sini. Setelah itu,  mereka akan membeli oleh-oleh untuk dibawa. Warung-warung makanan  rata-rata menjual makanan khas Aceh. Nasi dan berbagai macam lauk, mi  aceh, martabak telor, kopi aceh dan lain-lain. Tidak ketinggalan  berbagai jajanan kue basah yang dihidangkan bersama dengan kopi dan  minuman lainnya.
Melewati  kota Saree, sebelah kanan adalah sekolah kejuruan pertanian, dengan  latar belakang gunung Seulawah Agam yang menjulang tinggi. Jalanan  landai sampai kira-kira beberapa kilometer keluar kota, baru kemudian  disambut lagi dengan turunan-turunan dan kelokan-kelokan tajam. Suasana  sepi, selain kenderaan yang melintas tidak ada aktivitas penduduk  setempat. Kadang penurunan curam dengan kelokan patah yang berbahaya.  Sebelah kanan, jurang dalam menanti. Disuatu tempat, malah kelokan  nyaris berbentuk huruf U, yang kemudian berbelok lagi menuju jembatan  sempit (Seumapet), terus ke pendakian yang cukup curam. Habis lokasi tersebut jalan  mulai menurun lagi. Penurunan terus berlanjut sampai ke lokasi Cinta  Alam, dimana sekolah polisi berada.  Lokasi ini juga berkembang menjadi  kota kecil, dengan perumahan, rumah makan dan kedai-kedai untuk  kebutuhan penduduk setempat. Namun tempatnya tidak pernah seramai Saree.  Dari sini, jalanan sudah mulai melandai. Penurunan Seulawah terus  berlangsung sampai memasuki daerah Lamtamot.
Semasa  konflik bersenjata, melintasi daerah ini, apalagi di malam hari, butuh  nyali ekstra. Kalau dimasa damai, berkendara sendirian dan mendapati ada  orang yang melintas membuat hati senang karena ada kawan, di masa  konflik hal seperti itu justru dihindari. Kalau bisa, bahkan perjalanan  malam melintasi daerah ini tidak dilakukan. Walaupun di Saree ada pos  polisi, bahkan di lokasi Cinta Alam lebih banyak lagi polisi, tetap saja  banyak daerah kosong dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Sekarang,  semuanya sudah berubah. Saat bencana tsunami menghantam pesisir Aceh  tahun 2004 lalu, jalan ke Meulaboh rusak total. Otomatis, semua lalu  lintas ke wilayah barat Aceh terpaksa melintasi jalur Seulawah.  Kenderaan yang menuju dan dari Medan, yang ke Meulaboh, Tapaktuan,  Takengon semuanya terpaksa melintasi daerah ini. 
Warung-warung dan kios  dadakan menjual berbagai makanan untuk para pelintas yang kelaparan  terjebak kemacetan muncul di sepanjang jalan. Beberapa malah menjadi  permanen, dan tetap buka  sampai saat ini. Nyaris tidak ada lagi lokasi  yang betul-betul sepi di sepanjang jalan Seulawah. Mulai keluar dari  Padang Tiji, kios-kios darurat di pinggir jalan menjual berbagai hasil  pertanian. Nangka, pisang, mentimun. Kadang durian kalau lagi musim.  Tidak jauh dari lokasi tersebut, pondok penjual air tebu menanti. Daerah  yang dulunya merupakan hutan belukar di kiri kanan jalan sudah beralih  fungsi menjadi kebun. Ada hamparan kebun pisang yang luas, ada juga  ladang-ladang yang ditanami dengan segala macam tanamam. Melewati  Simpang Beutong, pondok-pondok penjual pisang menanti. 
Pedagang makanan membuka tempat berjualan di berbagai tempat di sepanjang jalan di Seulawah. Ada yang berkelompok, ada yang berdiri sendiri. Beberapa lokasi yang menawarkan panorama indah menjadi daya tarik sendiri bagi para pelintas untuk berhenti dan beristirahat. Rumah makan yang besar bahkan melengkapi berbagai fasilitas, mulai dari pondok-pondok tempat makan bagi yang ingin menikmati suasana makan di tempat terbuka, toilet, kamar mandi, tempat sholat dan tempat beristirahat di mana para pelintas bisa sekedar meluruskan badan untuk menghilangkan penat. Rata-rata mereka buka selama dua puluh empat jam setiap hari. Makanan yang dijual beragam, mulai dari nasi dengan berbagai lauk khas, mie aceh dan martabak dan lain-lain. Tidak ketinggalan meja-meja yang berisi berbagai keripik dan makanan lainnya untuk oleh-oleh. Tempat seperti ini rata-rata punya pelanggan sendiri diantara supir bus. Ada ikatan kecocokan tertentu antara para supir bus dengan pemilik rumah makan. Dan, yang paling penting, awak bus tidak usah membayar apapun yang mereka makan dan mereka minum. Ini adalah bentuk terimakasih dari pemilik rumah makan kepada mereka karena membawa pembeli.
Jika melintas menggunakan bus, saat berhenti di tempat-tempat seperti itu, belum lagi penumpang turun, pedagang-pedagang asongan mulai berkerumun menawarkan berbagai dagangan. Jagung rebus, ubi jalar mentah, keripik ubi kayu dan keripik ubi jalar dalam berbagai rasa, bungkusan-bungkusan mie aceh dan martabak telur yang masih panas mengepul, tape dan lain-lain. Dan selalu saja ada yang membeli. Mungkin pembeli merasa lebih praktis dan lebih cepat membeli dari pedagang asongan ketimbang memesan makanan serupa dan harus menunggu disiapkan.
Kalau dulu keripik ubi saree hanya ditemukan di kota Saree, sekarang semua tempat menjualnya. Kadang kita bisa langsung membeli ditempat mereka membuatnya di pinggir jalan, dengan harga yang seringkali lebih murah daripada yang sudah dikemas ataupun yang dijual pedagang asongan.
Melewati Saree, kita akan disambut oleh monyet-monyet yang menunggu makanan yang dilemparkan para pelintas di pinggir jalan. Monyet-monyet ini tidak lagi ketakutan akan kehadiran manusia, malah seringkali mereka mendekat berombongan untuk minta makanan. Berkelompok-kelompok mereka bertengger di pembatas jalan, kadang duduk di pinggiran jalan. Ada juga yang bersembunyi malu-malu di pohon-pohon dan baru turun ketika makanan dilemparkan. Penumpang-penumpang berhenti untuk memberikan makanan. Bahkan kadang ada yang sengaja membeli makanan di Saree untuk dibagikan kepada monyet-monyet tersebut.
Beberapa kilometer melewati Saree, di sebelah kanan jalan terletak perumahan Brimob yang baru dibangun sekitar tahun 2007. Kompleks yang megah dan ramai, walaupun terletak di pegunungan di tengah hutan belantara.
Memasuki Seulimum, sebelah kiri pondok pesantren modern Gontor 10 berdiri megah. Beberapa kilometer di depan, pondok-pondok penjual air tebu berderet di kiri kanan jalan, menawarkan tempat beristirahat dengan pemandangan menakjubkan di sebelah kiri jalan. Hamparan sawah luas di dataran rendah dari ketinggian bukit, dengan pelintasan rel kereta api lama yang membelah pesawahan menawarkan panorama yang memikat. Di pagi hari, daerah ini seringkali tertutup kabut tipis yang membawa suasana yang berbeda.
 
 


Pedagang makanan membuka tempat berjualan di berbagai tempat di sepanjang jalan di Seulawah. Ada yang berkelompok, ada yang berdiri sendiri. Beberapa lokasi yang menawarkan panorama indah menjadi daya tarik sendiri bagi para pelintas untuk berhenti dan beristirahat. Rumah makan yang besar bahkan melengkapi berbagai fasilitas, mulai dari pondok-pondok tempat makan bagi yang ingin menikmati suasana makan di tempat terbuka, toilet, kamar mandi, tempat sholat dan tempat beristirahat di mana para pelintas bisa sekedar meluruskan badan untuk menghilangkan penat. Rata-rata mereka buka selama dua puluh empat jam setiap hari. Makanan yang dijual beragam, mulai dari nasi dengan berbagai lauk khas, mie aceh dan martabak dan lain-lain. Tidak ketinggalan meja-meja yang berisi berbagai keripik dan makanan lainnya untuk oleh-oleh. Tempat seperti ini rata-rata punya pelanggan sendiri diantara supir bus. Ada ikatan kecocokan tertentu antara para supir bus dengan pemilik rumah makan. Dan, yang paling penting, awak bus tidak usah membayar apapun yang mereka makan dan mereka minum. Ini adalah bentuk terimakasih dari pemilik rumah makan kepada mereka karena membawa pembeli.
Jika melintas menggunakan bus, saat berhenti di tempat-tempat seperti itu, belum lagi penumpang turun, pedagang-pedagang asongan mulai berkerumun menawarkan berbagai dagangan. Jagung rebus, ubi jalar mentah, keripik ubi kayu dan keripik ubi jalar dalam berbagai rasa, bungkusan-bungkusan mie aceh dan martabak telur yang masih panas mengepul, tape dan lain-lain. Dan selalu saja ada yang membeli. Mungkin pembeli merasa lebih praktis dan lebih cepat membeli dari pedagang asongan ketimbang memesan makanan serupa dan harus menunggu disiapkan.
Kalau dulu keripik ubi saree hanya ditemukan di kota Saree, sekarang semua tempat menjualnya. Kadang kita bisa langsung membeli ditempat mereka membuatnya di pinggir jalan, dengan harga yang seringkali lebih murah daripada yang sudah dikemas ataupun yang dijual pedagang asongan.
Melewati Saree, kita akan disambut oleh monyet-monyet yang menunggu makanan yang dilemparkan para pelintas di pinggir jalan. Monyet-monyet ini tidak lagi ketakutan akan kehadiran manusia, malah seringkali mereka mendekat berombongan untuk minta makanan. Berkelompok-kelompok mereka bertengger di pembatas jalan, kadang duduk di pinggiran jalan. Ada juga yang bersembunyi malu-malu di pohon-pohon dan baru turun ketika makanan dilemparkan. Penumpang-penumpang berhenti untuk memberikan makanan. Bahkan kadang ada yang sengaja membeli makanan di Saree untuk dibagikan kepada monyet-monyet tersebut.
Beberapa kilometer melewati Saree, di sebelah kanan jalan terletak perumahan Brimob yang baru dibangun sekitar tahun 2007. Kompleks yang megah dan ramai, walaupun terletak di pegunungan di tengah hutan belantara.
Memasuki Seulimum, sebelah kiri pondok pesantren modern Gontor 10 berdiri megah. Beberapa kilometer di depan, pondok-pondok penjual air tebu berderet di kiri kanan jalan, menawarkan tempat beristirahat dengan pemandangan menakjubkan di sebelah kiri jalan. Hamparan sawah luas di dataran rendah dari ketinggian bukit, dengan pelintasan rel kereta api lama yang membelah pesawahan menawarkan panorama yang memikat. Di pagi hari, daerah ini seringkali tertutup kabut tipis yang membawa suasana yang berbeda.




 
 (Sumber Gambar:http://darirantau.blogspot.com/)
 Tapee Saree.... 
Seulawah. Kata ini digunakan sebagai nama pesawat terbang  yang pertama kali dimiliki Indonesia. Seulawah, sebenarnya, adalah nama  sebuah gunung yang terletak di antara perbatasan Kabupaten Pidie dan  Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam. Daerah Seulawah, pasti dilewati  siapa pun yang memasuki Banda Aceh melalui jalur darat.  Seulawah kerap membekas di hati orang yang pernah melewatinya. Deretan  pohon pinus di kanan-kiri jalan menawarkan kesegaran udara. Tapi ada hal  lain yang membuat Seulawah tidak dilupakan. Tape saree, camilan khas  dari daerah ini, sungguh menggoyang lidah. Belum sampai di mulut, aroma  tape ini sudah menawarkan citarasa berbeda. 
Saree adalah nama kecamatan di kaki gunung Seulawah. Di sini, tape diproduksi secara massal. Hampir setiap rumah di daerah ini menghasilkan tape saree. Selain proses pembuatannya relatif mudah, modalnya juga murah. Sejak Aceh damai, pendapatan masyarakat pun meningkat karena makin banyak konsumen.
Hal tersulit dari pembuatan tape ini  adalah menciptakan rasa manis khas tanpa meninggalkan aroma singkong.  Tidak semua produsen tape mau mengungkap rahasia agar tape bisa manis  dan enak. rahasia di  balik rasa yang mantap itu. Mulai dari mencuci ubi (singkong) dengan  bersih, proses perebusan sampai meraginya pun diusahakan ubi tetap dalam  keadaan bersih.  selalu berhati-hati dalam proses produksi. Bukan  apa, jika teledor sedikit, tape ini jadinya pasti tidak karuan. Bahkan,  untuk mencuci ubi pun dia nampak sangat berhati-hati. 
jika Anda melintasi kawasan Seulawah,  jangan hanya merasakan kesegaran sejuknya alam dan keindahan panorama yang mengagumkan. Tetapi, mampirlah untuk beli tape dan keripik singkong saree.   Panganan yang mantap disantap. Sekali Anda lihat, cepatlah disikat.
pemilik blog sendiri tak akan pernah bisa melupakan "SAREE",, sambutan yang hangat dan penuh kekeluargaan bukanlah hal yang langka di daerah yang menjadi tempat kedua berhawa dingin di Aceh setelah dataran tinggi Gayo (Takengon Aceh Tengah). 
 
 


 
 


0 coment:
Posting Komentar
Berikan Pendapat atau Argumen Anda...!!!