Mengapa tak sekarang saja kita tebang rumpun rebung itu, Ibu? Apa  lagi yang kita tunggu. Bukankah semak laknat itu menyisakan mimpi buruk  pada malammu, juga siangku. Kita telah kehilangan nakhoda biduk pada  ganasnya gelombang hidup. Laki-laki yang sangat mencintai bambu, mungkin  melebihi cintanya padamu, juga padaku. Tapi kau tak pernah cemburu pada  bambu-bambu itu. Bahkan saat akhirnya dengan sadis pohon kesumat itu  menjadi sebab kematian laki-lakimu, ayahku.
Aku ingin segera  meleyapkan rumpun aur itu, Ibu. Biar usai pedih ini. Agar lenyap bayang  senyap pada tetumbuhan yang merenggut seluruh suluh hidupku: cengkerama  dengan ayah di rembang petang, di antara betung dan aur, menyisahkan  kenang yang mengguncang. Memelantingkan seluruh siksa ditinggalkan,  mengundang ruang raung yang hilang.
Benar hutan bambu itu sesak  kenangan, tapi nganga luka pun ia suguhkan. Aku memilih melenyapkan  semua, Ibu. Agar tunai seluruh kenang, juga dendam.
Ayah pasti  marah padaku, jika kuleburkan pohon hidupnya. Tapi, bukankah akhirnya  pohon-pohon itu jua yang merenggut nyawanya? Karena cinta selalu menagih  pembuktian, ayah menyatakan cintanya. Cinta pada rerimbun bambu, sejak  bertunas hingga meranggas. Bahkan hingga bambu-bambu itu menghendaki  cinta yang tandas. Lalu ke mana kehilangan ini aku sangsangkan, bila  tiap bilah bambu adalah keriut lara lukaku.
Engkau diam Ibu, tak  mengiyakan, pun menolak hasratku. Ingin yang kusampaikan dengan ungkap  dusta, agar tak tercipta pedih bagimu, juga lara untukku. Kau hanya  tersenyum dengan sungging yang mendamaikan, sekaligus meresahkan.  Seperti rimbun bambu yang teduh, juga membuntal gatal. Tersebab bulu  halusnya yang terselip pada setiap pelepah dan batang.
Maafkan aku Ibu. Aku mencintamu, tapi kali ini aku ingin mencintai diriku sendiri.
Di  hatimu telalu banyak bilik. Aku tak sempat memasukinya satu per satu.  Sebanyak bilik rumah bambu yang ditatah ayah, dibawa ke kota-kota yang  jauh, dikagumi indahnya, dipuji pesonanya. Tanah kita pun masyhur karena  tangan terampil ayah. Dari rakyat biasa hingga pejabat terpesona  karyanya. Engkau turut tersenyum bangga, pada laki-lakimu, yang tetap  kau cintai, bahkan hingga tinggal tilas yang mengenangkanmu.
 ***
Kan  kupelihara hutan bambu itu, Suamiku. Sebagaimana dirimu menjagaku, juga  anak kita. Kau merawat bambu-bambu itu sepenuh waktu, tapi aku percaya,  kau jaga kami dengan seluruh hatimu. Sepeninggalmu, bambu-bambu ini  yang menemaniku. Kesiurnya mengingatkan pada bisikmu tentang ketabahan.  Deritnya mengenangkan pada suaramu saat memanggilku, dengan  pelan,...dalam, pada sepenarikan napas yang membuat kita sadar pada  amanah kemaslahatan. Lalu muncul pucuk-pucuk rebung yang menjanjikan  hari esok nan panjang. Rebung itu bertumbuh menjadi aur baru yang  menggantikan. Hingga siap ditinggalkan batang induknya yang kita tebang.
Tapi  tidak diriku, Suamiku. Kau tinggalkan aku saat rebung kita begitu  belia. Ia belum siap menanggung derita. Tapi aku berbaik sangka, kau  yakin kumampu menjaganya. Selain ketundukkan kita pada keharusan semesta  yang mengajari lega lila pada ingin-Nya. Meski ada lembar hatiku  mengeja hal lain yang kita amini dengan kedipan mata. Lalu kita  tertunduk karena kesalahan yang tak kita kehendaki.
Kau ajari aku  menyayangi bambu seperti menjaga kehidupan. Kau tak akan menebang  betung jika tumbuhan itu tak menginginkan. Bahkan kau tahu, mana batang  yang berkenan kau tebang, dan mana yang enggan kau pinang. Tak akan kau  tebang batang betung yang menyusui rebung. Kau rawat dia hingga tunai  sang betung mengasuh rebung. Jika pada titimangsa tua, ketika bulan tak  lagi purnama, kusaksikan batang-batang betung rebah dengan indah. Pada  pangkuanmu, pada tanganmu yang begitu piawai menjadikannya lebih  berharga. Akan kusaksikan betapa mesranya kau menyambut batang betung  itu. Dan betapa cemburunya aku pada kemanjaan rumpun rumput istimewamu.  Batang-batang itu seperti tahu, kaulah yang akan menatah titah mengada;  memberi manfaat bagi semesta. Jika sampai waktunya, bambu itu pasrah  pada tanganmu mencipta. Batang betung dan aur itu percaya, kau mampu  mendandaninya menjadi permata yang disanjung puja. Bukan sekadar kayu  bakar yang tersia.
Di hari nahas itu, aur dan betung mengutukmu.  Rumpun itu merasa dikhianati, sebagaimana kau tersiksa atas pengingkaran  pada anak jiwamu, juga seluruh hidupmu. Aku tahu, Suamiku, betapa  sulitnya debat hatimu saat itu.
Seluruhmu tergadai antara titah  dan tembang manah. Kau sanggupi wisma angsana di taman kota praja. Yang  Mulia meminta mahakaryamu tercipta dari bambu terbaik yang dipilihnya.  Dia tunjuk serumpun betung nan memesona; setiap jiwa terkagum pada  pikatnya. Dengan santun kau katakan pada Yang Mulia, betung itu belum  sampai titimangsa. Kau tawarkan batang lain yang tak kalah jelita. Telah  kau siapkan pada musim tebang sebelumnya.
Tapi siapakah engkau,  Suamiku. Engkau tak punya daya untuk menawarkan kebenaran di hadapan  penguasa. Apalah arti pengetahuanmu di hadapan kemauan raja. Dengan  senyum getir, kau iyakan mata murkanya. Dia puas dalam tawa. Tak ada  yang lebih tahu dari nafsunya. Tak ada yang sanggup menentang maunya.  Apalah arti seorang perajin bambu di hadapan kuasanya. Sebentar lagi  istana bambu yang diidamkannya tercipta, meski menumbalkan kemaslahatan  muasalnya.
Aku tahu, Suamiku, untukmu yang begitu takzim pada  gerak mayapada, memangkas betung dengan tergesa adalah perbuatan  sia-sia. Bagimu, ini langkah zalim pada semesta. Satu betung kau bawa,  berdasa rebung binasa. Tapi bisakah penguasa berlapang dada pada  kearifan alam raya?
Suamiku, di belakangmu aku terdiam. Mengikuti  langkahmu yang gamang. Tak kulihat lagi semringahmu menyambut rebahnya  lurus batang. Kau begitu bimbang. Akan kau tebang betung yang tengah  menyusui rebung. Akan kau pangkas hatimu untuk titah. Tapi aku tak  percaya, kau berani mengingkari tembang rejang kehidupan.
Langkahmu  gundah, mendekat batang betung dengan pasrah. Tanganmu gemetar saat  menempelkan parang pada batang yang tak hendak rebah. Ketika parang kau  angkat, riuh jerit rimbun rebung pilu menyayat. Direbutnya parang hatimu  yang mendekat. Tangis mereka pecah saat besi tajam itu semakin rapat.  Gendang telingamu tak mampu menangkap apa pun, selain sayat pilu sedu  sedan rebung. Tanganmu goyah, entah ke mana parang terarah, hingga  senjata itu memilih tuannya. Darah mengucur di pucuk-pucuk rebung, juga  bambu betung. Tangis rebung reda, atas peristiwa tak terduga, berganti  isakku kehilanganmu. Tak lama, rebung-rebung itu, petung itu, aur itu,  turut tersedan. Melafalkan kidung penyesalan akan kepergian.  Menembangkan kehilangan manusia yang akan menjaga dan merawatnya, juga  memolesnya hingga memesona. Kemudian, kota ini menjadi sepi, tak lagi  wangi.
***
"Mengapa tak  sekarang saja kita tebang rimbun aur itu, Ibu? Kan kubuat sebuah kota  dengan rumah-rumah bambu di atasnya. Pasti negeri ini akan masyhur  lagi."
"Anakku, menanam ada masanya, memetik pun ada waktunya,  jangan kau ganggu bambu-bambu itu. Lihatlah, anak-anaknya tengah  menyusu."
"Ah..ibu, manalah putingnya, manalah airnya, ibu jangan  mengada-ada. Akulah anak ibu yang akan merawatnya, dengan menjadikannya  lebih berharga."
"Pada mangsa setelah dasa, kala bulan tak lagi  purnama, tebanglah induknya saja. Biarkan anak-anaknya bertumbuh  menggantikannya."
"Akan aku tebang semuanya, Ibu. Agar tak lagi  ada ular yang bersembunyi di semaknya. Kan kubangun rumah-rumah bambu di  atasnya, biar tanah kita jadi legenda."
"Anakku, buah cinta  hutan bambu, jangan turuti nafsu. Apalah arti legenda, jika musnah  segala yang ada. Kita ambil sebagian saja, seperlu hajat kita, bumi akan  panen raya setelah padam purnama."
"Duh Ibu, kekasihku, teman  jiwa ayahku,...mengapa kau eja purnama, zaman tak lagi menghiraukannya.  Esok ada batang beton yang menggantikan bambu betung itu."
"Duh..anakku,  kau saksikan matahari muncul di waktu pagi, terbenam di senja kala,  tentu ada maksudnya. Tuhan tak ciptakan itu dengan sia-sia. Adalah  perputaran waktu yang menggantikan warsa. Membuat kita belajar tentang  musim, tema titimangsa. Benar semua waktu baik, Anakku. Maka disebut  baik, karena mengandung kebaikan untuk yang lainnya. Pandailah kau  membaca sasmita, pertanda yang dipersembahkan alam untuk kita. Cermatlah  dirimu berteman dengan musim, agar menjadi sahabat semesta."
"Duh..Ibu, tidakkah semua telah berlalu. Kita hidup di zaman tanpa musim, tak beda ketika purnama atau gulita."
"Anakku, ibu telah tua. Tinggal merawatmu, juga rumpun rebung itu. Menjaga kinasih ayahmu, menata kelarasan mayapada."
"Duh Ibu, aku anakmu seorang saja, kan kulakukan yang terbaik bagi semua."
***
 "Suamiku,  maafkan aku. Tak tuntas kuajarkan kearifan pada anak kita. Kini aku  hidup tanpamu, tanpa hutan bambu. Yang tertinggal ngiang kidung rebung  yang meratapi namamu." *** 
Cerpen Teofani, S.W. Silakan Simak! 
 
 
 
 


0 coment:
Posting Komentar
Berikan Pendapat atau Argumen Anda...!!!