CAHAYA senja perlahan   melindap di cecabang pohon ketapang. Cahaya senja yang itu-itu juga,   yang ribuan tahun tak pernah jenuh memberi keindahan pada manusia,   bergelayut di pelepah-pelepah kelapa yang berjejer bagai barisan serdadu   yang kalah perang di sepanjang pantai. 
Cahaya  senja yang lembut  bagai nyanyian pengantar tidur menyusup ke  celah-celah atap  perahu-perahu kecil yang lesu menunggu penumpang.  Cahaya senja menjalar  ke dalam bola matamu yang tak berkedip menatap  gelombang lautan yang  datang beralun-alun. 
Laut pun berkilau megah disepuh warna keemasan senja.
Aku menyusuri cahaya senja yang bersembunyi di bola matamu yang tak jenuh menatap lautan biru.
"Matamu indah sekali." Aku menatap matamu tanpa berkedip.
"Lautan itu juga indah." Kau menatap lautan tanpa berkedip.
Kini   mataku silih berganti memandang matamu dan melirik lautan. Seperti  juga  lautan, memang selalu ada saja hal yang tak terduga. Misalnya,  tadi  kita merasakan cuaca cerah melingkupi lautan. Tapi kini kelam  tiba-tiba  muncul entah dari mana. Langit senja menghitam dan badai akan  segera  tiba mengepung pantai.
"Kamu belum bacakan puisi-puisimu untukku," kau berkata.
Aku   teringat janjiku. Ya, aku berjanji akan membacakan beberapa puisi yang   kutulis untukmu setiba kita di pantai ini. Tapi bola matamu yang   mengandung senja tentu jauh lebih indah dari puisi-puisi yang kutulis,   bahkan yang pernah ditulis oleh para mantan pujangga. Aku justru ingin   menikmati keindahan bola matamu. 
"Matamu lebih indah dari puluhan puisi yang kutuliskan," aku memuji.
"Ah, kamu! Ayo, segera baca puisi untukku, sebelum badai tiba!" kau merajuk. Pipimu yang ranum bersemu merah.
Ini   kali pertama aku mengunjungi pantai yang kauceritakan, pantai yang   pernah hadir dalam mimpi kanak-kanakku. Ketika aku duduk di sekolah   dasar, seorang guruku suka bercerita tentang Ancol. Dan sejak itu aku   menyimpan diam-diam keinginan mengunjungi pantai yang kubayangkan sangat   indah. Sampai akhirnya kau bersedia mengantarku ke sini. Ternyata   pantai ini tidaklah seindah yang kubayangkan. Ancol menjadi indah hanya   karena kau berada di sampingku.
"Tapi, lihatlah kerumunan gedung-gedung yang menggapai langit itu, bukankah itu suatu yang eksotis?"
Sejak   tadi memang aku agak terpesona dengan kerumunan gedung yang kau   tunjukkan itu. Apakah itu Tanjung Priok? Atau sisi lain dari Jakarta?   Sebentar lagi malam, tentu gedung-gedung itu akan menjelma kerlip-kerlip   cahaya. Aku suka cahaya, terutama cahaya senja dan cahaya lampu-lampu   perahu di keheningan lautan.
"Tapi aku lebih suka cahaya matamu," ujarku dalam senyuman.
"Di mana-mana pujangga memang jago gombal!" kau melengoskan wajahmu, menatap perahu-perahu yang layu di tepian pantai.
"Aku   tidak sedang gombal. Kali ini aku jujur dengan apa yang kuucapkan,"  aku  membela diri dengan mimik wajah seperti bocah yang tertangkap basah   mencuri uang ibunya.
Kau tertawa sembari merengkuh tubuhku. Pipimu hangat di pipiku. 
"Kau mau menemaniku berperahu?" ajakmu.
Aku menatap langit senja yang semakin kelam. Tiba-tiba saja aku merasa cemas badai akan segera datang menyapu pantai.
"Tidakkah kau lihat langit begitu kelam. Badai akan segara tiba!"
"Tapi...aku ingin berperahu hingga malam. Kita akan menikmati kerlip lampu-lampu Kota Jakarta dari tengah lautan," kau merayu.
"Aku takut badai."
"Tidak. Badai yang takut dengan kita," candamu.
Aku   ketawa mendengar leluconmu yang kurasa ganjil sekaligus mengerikan  itu.  Bagaimana bisa kau tahu bahwa badai yang takut dengan kita?
"Sudahlah.   Kapan-kapan saja kita berperahu, bila cuaca cerah," aku mencoba   menghindar dari keinginan anehmu. Kapan-kapan? Aku pun tidak tahu entah   kapan aku bisa memenuhi janjiku berperahu denganmu.
Kau terdiam. Aku merasakan kekecewaan membias pada wajahmu.
"Aku   lapar. Rotinya masih ada?" tanyaku, lebih untuk mengalihkan topik   pembicaraan, agar kau melupakan keinginanmu berperahu ke tengah lautan.
Masih   dengan wajah diam, kau membuka ransel dan mengambil roti yang kita  beli  tadi siang. Kau menyodorkan roti itu untukku, masih dengan diam.
"Kau tidak lapar?" tanyaku sembari mengunyah roti berselai nenas.
Kau hanya diam. Aku tahu kau kecewa. Tapi, jujur saja, aku takut badai. Dan aku terlalu mencintaimu.
Benar   saja. Beberapa saat kemudian badai pun tiba dengan angin yang   berpusar-pusar di atas kepala kita. Hujan pun turun dengan derasnya.   Kita segera bergegas menyelamatkan diri. Aku menggapai tanganmu dan   mengajakmu berlari mencari tempat berteduh.
"Apa kubilang?!" ujarku sambil mengatur napas.
"Untung kita tidak jadi berperahu...." wajahmu kini nampak cemas.
Di   bawah atap sebuah kedai di tepian pantai, kita hanya bisa memandangi   hujan yang turun semakin deras. Beberapa orang juga numpang berteduh di   kedai itu tanpa membeli apa-apa. 
"Pesan kopi, yuk? Kamu suka kopi?"
"Boleh..."
Kita   masuk ke ruang tengah kedai dan memilih tempat duduk di sudut ruangan.   Di luar hujan masih turun dengan riangnya. Dari kedai aku masih bisa   menatap ke arah pantai yang kini telah berubah kelabu.
Aku  lihat  bibirmu gemetar karena cuaca yang menebarkan hawa dingin. Aku  meraih  tanganmu. Kita mencoba berbagi kehangatan. Beberapa pasang mata  melirik  ke arah kita. Dengan malu-malu kau menarik tanganmu. Kini  tanganmu kau  tempelkan pada sisi gelas kopi dengan uap yang mengepul  sehingga  kehangatan makin sempurna menjalari pembuluh darahmu.
Aku  melihat  seekor anak camar tersesat di tengah badai. Dengan bingung  camar itu  terbang berputar-putar dan mencoba melawan badai yang tidak  akan mungkin  mampu dikalahkannya. 
"Kau  lihat camar itu! Kasihan sekali..."  Aku menunjuk ke arah camar yang  kebingungan itu. Matamu mencari-cari  arah yang kutunjukkan. Kemudian  wajahmu menyiratkan kesedihan.
"Camar itu tersesat...," kau berkata.
Ketika   kau berkata begitu, aku tiba-tiba menyadari aku juga tersesat dalam   lubuk-lubuk hatimu. Aku belum menemukan jalan kembali, jalan yang akan   menyelamatkan aku dari cinta yang aku tahu berakhir dengan kepedihan.
"Mengapa ia bisa terpisah dari induknya?" kau kembali berkata. 
Wajahmu yang setengah pucat karena cuaca dingin nampak murung, semurung mendung yang menggantung di atas Pantai Ancol.
"Mungkin   ia sebatang kara," aku menanggapi dengan bergumam. "Seperti juga camar   itu, kita sesungguhnya sebatang kara di dunia yang kita huni ini. Tak   akan ada yang mampu menyelamatkan kita, kecuali diri kita sendiri."
Matamu   masih terus menatap langit yang kian kelabu. Tapi camar itu telah  tidak  ada di sana. Mungkin ia telah tenggelam ke dalam badai. Ah, camar  yang  malang...
Hujan masih belum reda hingga malam menjelang. Langit semakin gelap dan kelabu. Cuaca melulu dingin.
"Aku lapar..." kau merajuk manja. 
Aku selalu suka pada kemanjaanmu.
"Aku juga," ujarku, "kita pesan makanan di sini saja. Kau mau makan apa?"
"Makan kamu...," guraumu sambil menyeringai lucu dengan gerakan tangan yang hendak menerkam. 
Aku   pun jadi gemas melihat tingkahmu. Selalu saja ada hal-hal yang tak   terduga dari jiwamu. Cuaca dingin memang sering membuat hati sepasang   kekasih menjadi rawan dan hangat.
"Ehm....kalo gitu, kita makan nasi dulu, ya. Setelah itu baru kita saling memakan...," aku balas dengan bergurau. 
Tentu aku yakin kau paham maksudku.
Kau   mengulum senyum manis. Matamu yang indah menatapku penuh makna. Cuaca   semakin dingin. Tiba-tiba saja jantungku berdebar begitu hangat dan   tidak seperti biasanya.
Kita  memesan nasi campur dengan lauk ikan  laut. Tak lupa juga kita memesan  sop ikan kesukaan kita. Aroma sop ikan  yang uapnya hangat mengepul itu  semakin membuat perut bertambah lapar.  Kita makan dengan lahap.
Hujan mulai mereda, meski langit telah sempurna gelap. Selesai makan kau nampak memikirkan sesuatu. 
"Akan ke mana kita?" tanyamu lirih. 
"Entahlah...." 
Selesai makan biasanya pikiranku menjadi buntu dan membatu.
"Aku   tak mau pulang ke rumah. Aku masih ingin bersamamu, sebelum kamu   benar-benar pergi dan tidak kembali lagi," wajahmu memancarkan   kesedihan.
"Aku pun masih  ingin bersamamu, bahkan kalau bisa  selama usia masih menghidupi kita,"  hiburku. "Tapi bukankah kamu akan  menikah dengan lelaki lain? Sebab  seperti yang pernah kamu katakan dulu,  kita berbeda dalam keyakinan dan  kamu tidak akan berani memberontak  pada orang tuamu. Begitu juga aku."
"Maafkan aku. Tapi aku masih mencintaimu," ujarmu lirih.
"Kalau begitu, mengapa kamu tidak mau ikut bersamaku?" Aku memeram kecewa.
"Aku tidak bisa," kau semakin lirih.
Kita sama-sama terdiam. Angin malam menyentuh pipi kita yang tiba-tiba menjadi lembab. 
"Apa rencanamu?" kau mengusik diamku.
"Besok   pagi aku akan pulang ke Bali. Maafkan, aku tidak bisa hadir ke pesta   pernikahanmu. Semoga kamu bisa mengerti dan memaafkan aku." 
"Tapi aku mohon kamu masih mau menemaniku malam ini."
Aku   tidak menjawab. Pikiranku berkelindan di dalam tempurung kepalaku.   Hujan telah lama reda. Udara masih dingin. Kita meninggalkan kedai.   Berjalan menyusuri jalan aspal yang masih menyisakan jejak-jejak hujan.   Lampu-lampu merkuri nampak muram cahayanya. Dengan ragu, kita memasuki   lobi sebuah hotel. 
Aku ingin kembali menyusuri peta tubuhmu, agar aku tidak sepenuhnya kehilangan jejakmu. 
Pagi-pagi   sekali aku berkemas meninggalkan Jakarta, pulang ke Bali, membawa   kenangan, membawa mendung di bola matamu yang murung. Tiga hari kemudian   kau menggelar pesta pernikahan dengan lelaki pilihan orang tuamu. ***
 
 

 
 


0 coment:
Posting Komentar
Berikan Pendapat atau Argumen Anda...!!!