Akhlak Tercela
AL-AKHLAQ AL-MADZMUMAH
 1. Zalim
“Zalim” biasanya dikontraskan dengan “adil”. Karenanya dengan mempelajari bahasan “adil” dalam al-Akhlaq al-Karimah
 kita sudah bisa menangkap makna “zalim”. Keduanya selalu mempunyai arti
 yang berlawanan. Dalam bahasa Inggris “zalim” biasanya diartikan dengan
 injustice atau ketidakadilan. Walaupun, “zalim” dalam istilah 
al-Qur’an bukan satu-satunya yang menunjuk pada makna ketidakadilan. 
Dalam al-Qur’an kata ”zalim” dengan berbagai derivasinya disebut 
sebanyak 315 kali. Ini menunjukkan bahwa kata ini merupakan salah satu 
konsep sentral dalam al-Qur’an. Toshihiko Izutsu, sebagaimana dikutip 
dawam Rahardjo, menyatakan bahwa  merupakan 
varian dari sikap dan perilaku kufur atau ingkar. merupakan segi atau 
dimensi kekufuran. Sebagaimana konsep “adil”, yang bersifat 
multidimensional, zalim juga mempunyai cakupan makna yang cukup luas. 
Pertama, kezaliman atau ketidakadilan  menyangkut masalah hak, yaitu 
apakah seseorang memperoleh haknya atau tidak. Kezaliman terjadi bila 
hak-hak seseorang diingkari atau dilanggar. Pengertian ini dapat ditarik
 dari firman Allah dalam surat Taha, 20: 112;
 
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا(112)
“Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam 
keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil 
(terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya.”
Kedua, kezaliman dimaknai sebagai perilaku yang berat sebelah. Hal sebagaimana terekam dalam surat al-Baqarah, 2: 182;
فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ(182)
“(Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat
 itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan 
antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha 
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam ayat di atas dinyatakan orang yang membuat suatu wasiat dengan berat sebelah (janafa)sehingga bertentangan dengan syara’. Janafa merupakan kata lain dalam al-Qur’an untuk menyebut ketidakadilan atau kezaliman, selaian hadlama sebagaimana
 dalam surat Taha di atas. Jadi kezaliman timbul karena seseorang 
berpikir, bersikap dan bertindak berat sebelah, seperti dalam membuat 
wasiat atas hartanya.
Ketiga, kezaliman juga bermakna pelanggaran terhadap hukum, atau 
tindakan tanpa dasar. Sebaliknya keadilan sering dimaknai sebagai 
pelaksanaan yang setia terhadap hukum yang berlaku. Pelanggaran terhadap
 hak dan tindakan yang berat sebelah sering kali disebabkan karena 
seseorang berbuat tidak didasarkan pada aturan dan hokum yang berlaku, 
akan tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan dan kepentingan 
subyektif. Hal inilah yang yang disebut dengan sikap dan perilaku yang 
sewenang-wenang, sikap dan perilaku yang tidak didasarkan nilai dan 
aturan.
Keempat, kezaliman juga berarti kebohongan. Orang yang berbuat zalim 
adalah orang yang merekayasa kebohongan. Hal ini sesuai dengan firman 
Allah dalam surat al-An`am, 6: 21;
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ(21)
“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat 
suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? 
Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan.”
Kedustaan terhadap Allah adalah mengatakan dirinya beriman, padahal 
ingkar, mengatakan dirinya berbuat baik, tetapi sebenarnya berbuat 
jahat/salah. Mendustakan ayat-ayat Allah adalah menentang 
prinsip-prinsip kebajikan yang telah diajarkan agama. Keduanya adalah 
perbuatan yang pada esensinya berseberangan dengan prinsip keadilan, 
keduanya adalah kezaliman.
Begitu rendah dan hinanya kezaliman, Islam memberikan panduan 
terhadap mereka yang dizalimi bagaimana merespon tindakan tersebut. 
Pertama, bahwa al-Qur’an memberikan dispensasi untuk mengkritik tindakan
 kezaliman secara terbuka dan secara pedas sekalipun. Ini tergolong 
istimewa, karena pada dasarnya agama melarang membongkar keburukan orang
 lain secara terbuka yang dimungkinkan bisa mempermalukan orang lain. 
Dalam surat al-Nisa`, 4: 148 dinyatakan:
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا(148)
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan 
terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar 
lagi Maha Mengetahui.”
Kedua, al-Qur’an memberi izin kepada yang terzalimi untuk mengangkat 
senjata/berperang melawan kezaliman. Izin ini juga merupakan 
pengecualian, karena pada dasarnya Islam melarang berperang. Izin inilah
 yang dijadikan dasar politik pertahanan atau politik perang dan damai  
dalam konteks kenegaraan. Allah berfirman dalam surat al-Hajj, 22: 39;
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ(39)
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, 
karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, 
benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.”
Sunnah Allah menggariskan bahwa kezaliman atau ketidakadilan dalam 
skala kecil atau besar cepat atau lambat akan mengalami kehancuran. 
Karena kezaliman telah melawan “prinsip keseimbangan”. Agama begitu 
konsen dengan prinsip ini, karena pada dasarnya segala hal tidak 
terlepas dari prinsip ini, termasuk penciptaan alam raya. Dalam hal ini 
ada gambaran kosmologis dari surat al-Rahman, 55: 7 – 9;
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ(7)أَلَّا 
تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ(8)وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا 
تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ(9)
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca 
(keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan 
tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi 
neraca itu.”
- Takabbur
Menurut Imam al-Ghazali, seorang yang takabbur adalah yang memandang 
selainnya dengan pandangan rendah dan hina sebagaimana pandangan raja 
terhadap hamba sahaya. Orang seperti ini mempunyai persepsi bahwa 
keagungan, kebesaran dan kebaikan hanyalah miliknya. Seorang mutakkabir, dalam kadar yang tinggi, merasa menyamai Tuhan bahkan berani melawan-Nya, sebagaimana sejarah Fir’aun.
Seorang mutakkabir tidak pernah melakukan introspeksi 
terhadap dirinya secara obyektif. Ia hanya mengenali sisi-sisi kelebihan
 dirinya dan tidak pernah mampu menyelami dan mengakui potensi dan 
perasaan orang lain. Mutakabbir mempunyai ego dan subyektivitas yang sangat dominan sehingga dirinya sendiri tidak mampu mengontrolnya.
Ia tidak menyadari bahwa pada awalnya tercipta dari setitik air (nutfah)
 dan pada akhirnya nanti menjadi bangkai yang menjijikkan. Sementara 
dalam hidupnya, ia senantiasa membawa urine dan kotoran yang menusuk 
hidung. Demikian Quraish Shihab mengilustrasikan.
Seorang yang takabbur mengabungkan dalam dirinya kebodohan dan 
kebohongan. Kebodohan karena pada dasarnya ia tidak mengetahui bahwa 
kebesaran hanya milik Allah dan sekaligus tidak mengetahui kemampuan 
riel dirinya. Kebohongan karena ia telah membohongi Tuhan, sesamanya dan
 terutama dirinya sendiri. Seorang yang takabbur juga telah 
menciptakan keburukan di atas keburukan. Keburukan dalam dirinya ia 
taburkan terhadap sesama yang pada akhirnya menimbulkan dendam, 
antipati, kebencian dan yang lainnya. Karena itulah Allah secara tegas 
menyatakan bahwa dirinya tidak menyukai orang yang mempunyai karakter 
seperti ini:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي 
الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ 
فَخُورٍ(18)وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ
 الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ(19)
“an janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena 
sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. 
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi 
membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah 
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
Nabi S.a.w. juga bersabda:
“Tidak akan masuk surga seseorang yang terdapat dalam hatinya sebesar zarrah keangkuhan”
Sebagaimana diketahui bahwa Allah mempunyai sifat al-Mutakabbir. Persoalannya bagaimana meneladani sifat ini, karena ada perintah “Takhallaqu bi Akhlaqillah”. Meneladani
 sifat ini diizinkan dalam dua keadaan, yakni ketika seseorang 
menghadapi orang yang sombong terhadap dirinya dan ketika berkecamuknya 
perang menghadapi musuh. Rasul pernah melihat orang yang berjalan dengan
 angkuh dan congkak dalam situasi seperti ini, kemudian beliau bersabda:
 “Sesungguhnya ia adalah cara jalan yang dibenci oleh Allah, kecuali dalam situasi seperti ini.”
Menurut Imam al-Ghazali seseorang yang meneladani sifat Allah al-Mutakkabir adalah dia yang zahid dan arif. Yaitu dia yang meninggalkan kesenangan materi dan dunia kemudian menyibukkan diri berkomunikasi dengan Allah. Seorang yang mutakabbir (bagi
 yang meneladani sifat Allah) adalah yang memandang dirinya lebih agung 
dan besar dari segala sesuatu kecuali Allah. Karena itu ia tidak 
disibukkan dengan apapun dalam memandang Allah.
- Larangan Mengolok-olok, Banyak Prasangka, meneliti kelemahan sesama, Panggilan dengan Gelar yang Jelek.
Islam bukanlah agama yang hanya mementingkan komunikasi manusia 
dengan Tuhannya (hubungan vertical) akan tetapi juga komunikasi manusia 
dengan sesamanya (hubungan horizontal). Dalam surat Ali ‘Imran ayat 112,
 misalnya, dinyatakan bahwa kehinaan akan menerpa siapapun dimanapun ia 
berada bila tidak menjalin hubungan yang baik dengan sesamanya dan 
dengan Tuhannya. Hal ini semakin nyata, dalam konteks hubungan manusia 
dengan sesamanya, dengan adanya larangan tegas al-Qur’an terhadap 
perilaku mengolok-olok, banyak prasangka dan yang semisalnya yang bisa 
memperkeruh hubungan manusia dengan sesamanya.
Dalam surat al-Hujurat (49): 11 – 12 dinyatakan:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ 
قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ 
عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا
 تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ 
الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ 
الظَّالِمُونَ(11)يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا 
مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا 
يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ 
أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُوَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ
 رَحِيمٌ(12)
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok 
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik 
dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita 
(mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita 
(yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan
 janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil 
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah 
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak 
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang 
yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian 
prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan 
orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang 
lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya 
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan 
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi 
Maha Penyayang.
Dalam teks al-Qur’an di atas ada beberapa akhlak tercela yang harus 
dijauhi, yaitu; mengolok-olok, mencela, panggilan dengan gelar-gelar 
yang buruk, buruk sangka, mencari-cari kesalahan dan menggunjing orang 
lain. Al-Qur’an juga menampilkan alasan mengapa perilaku-perilaku 
tersebut terlarang.
Mengolok-olok sesama yang dilakukan oleh siapapun itu terlarang 
karena, antara lain, kemungkinan yang diolol-olok itu lebih baik dari 
pada yang mengolok-olok. Alasan ini juga bisa berlaku terhadap 
akhlak-akhlak yang lain dalam ayat di atas. Alasan ini cukup mengena, 
karena biasanya olok-olok yang dilontarkan hanya didasarkan pada 
pertimbangan subjektif karena factor dislike.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dinyatakan:
إن الله لا ينظر إلى صوركم و أموالكم و لكن ينظر إلى قلوبكم و أعمالكم
“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat rupamu dan hartamu, akan tetapi melihat hati dan perbuatanmu”.
Dalam Tafsir al-Qurthubi dinyatakan, berdasar hadis di atas, bahwa 
seseorang hendaknya tidak cepat menilai sesama dengan penilaian yang 
negatif/jelek hanya didasarkan pada tampilan luar perbuatan/perilaku 
manusia. Seseorang yang tampaknya melakukan perbuatan baik sekalipun, 
Tuhan kemungkinan menilai sebaliknya, karena melihat adanya motivasi 
jelek dalam hatinya yang membuat perbuatan tersebut menjadi tidak sah. 
Begitupun sebaliknya, orang yang melakukan perbuatan yang jelek, akan 
tetapi justru diampuni oleh Tuhan karena dalam hatinya terkandung sifat 
yang mulia. Perbuatan hanyalah tanda-tanda lahiriah yang bersifat zanni, tidak bersifat pasti.
Karena itulah kita tidak boleh mudah tertipu dengan perbuatan yang 
mungkin tampak baik, dan tidak boleh cepat menarik kesimpulan orang lain
 sebagai jelek/jahat karena perbuatannya kita lihat jelek. Yang dapat 
kita katakan adalah bahwa perbuatan tersebut salah, buruk atau menurut 
hemat kita tidak sesuai dengan tuntunan agama kemudian menegur 
pelakunya. Akan tetapi kita tidak boleh langsung menarik kesimpulan 
bahwa pelakunya itu sendiri buruk. Barang kali ia tidak tahu, salah 
tafsir/perhitungan atau yang lainnya.
Larangan berikutnya memakai redaksi wa la talmizu anfusakum, (Janganlah kamu mencela diri sendiri). Makna dari redaksi di atas adalah, Janganlah sebagian kamu mencela sebagian yang lain. Bentuk ini sama dengan firman Allah yang lain, wa taqtulu anfusakum yang bermakna janganlah sebagian kamu membunuh sebagaian yang lain. Hikmah
 yang dapat diambil adalah bahwa seorang yang berakal tidak akan mencela
 dirinya sendiri, karenanya tidak seharusnya ia mencela sesamanya. Sebab
 mencela sesamanya laksana mencela dirinya sendiri. Bukankah Nabi s.a.w.
 telah bersabda bahwa orang-orang mu’min laksana tubuh yang satu, 
jikalau salah satu anggotanya mengaduh kesakitan yang lain akan turut 
merasakan sakit. Dikatakan juga bahwa sangat beruntung orang yang 
disibukkan dengan introspeksi aibnya sendiri dari pada mencari ain orang
 lain.
Akhlak yang tercela yang ketiga adalah panggilan dengan gelar yang buruk. Menurut Ibn ‘Abbas panggilan yang buruk (al-tanabuz bi al-alqab) adalah
 berlaku terhadap orang yang dahulunya berbuat kesalahan/kejahatan 
kemudian bertobat. Maka, Allah melarang untuk mengungkit kembali 
kesalahan yang telah dilakukan dengan panggilan yang buruk. Hal ini 
sebagaimana terjadi ketika ayat di atas diturun. Orang menyapa dengan 
panggilan, Wahai seorang yang fasik, Wahai seorang yang munafik, Wahai orang yang kafir, dan lainnya. Padahal sebenarnya predikat tersebut sudah tidak pantas karena yang dipanggil telah bertobat.
Sebaliknya, panggilan dengan gelar-gelar yang baik yang disukai oleh 
yang dipanggil, agama membolehkannya. Ini sebagaimana yang telah 
dilakukan oleh Nabi sendiri. Beliau memberi gelar terhadap 
sahabat-sahabat beliau dengan, misalnya, al-Shiddiq untuk Abu Bakr, al-Faruq untuk ‘Umar, Asadillah untuk Hamzah, Saifullah untuk
 Khalid. Dan pada kenyataannya, sedikit sekali orang-orang elit pada 
masa jahiliyyah dan Islamiyyah yang tidak mempunyai panggilan atau gelar
 tertentu.
Akhlak yang keempat adalah buruk sangka. Buruk sangka dalam konteks 
ayat di atas adalah mirip dengan tuduhan, yakni tuduhan yang tidak 
didasarkan alasan dan bukti-bukti konkrit. Ulama telah bersepakat bahwa 
persangkaan yang buruk terhadap orang yang pada lahirnya baik tidak 
dibolehkan, sebaliknya dibolehkan terhadap orang yang nyatanya melakukan
 perbuatan jelek. Nabi s.a.w. bersabda:
إن الله حرم من المسلم دمه و عرضه و أن يظن به ظن السوء
Yang kelima adalah meneliti dan mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus). Agama
 sangat meperhatikan privasi dan kehormatan seseorang, karenanya 
meneliti kesalahan hanya layak dilakukan terhadap diri sendiri sebagai 
upaya perbaikan dan pengembangan diri. Meneliti kesalahan orang lain 
biasanya hanya untuk menjegal dan menebar nama buruk bagi yang 
bersangkutan. Nabi bersabda bahwa orang yang mencari-cari kesalahan 
orang lain berarti menghancurkan atau nyaris menghancurkan oaring lain.
Yang terakhir adalah ghibah. Ghibah adalah menyebut 
seseorang dengan apa yang tidak disukainya, walaupun hal yang tidak 
disukainya benar-benar ada dalam dirinya. Allah mengumpamakan ghibah 
layaknya memakan bangkai. Karena bangkai mayat tidak akan mengetahui 
kalau dagingnya dimakan sebagaimana seseorang yang hidup tidak 
mengetahui kalau ada orang lain yang meng-ghibah dirinya. Kalau memakan 
bangkai itu sebagai hal yang haram dan menjijikkan, maka begitu juga 
ghibah, haram menurut agama dan menunjuk pada kejelekan jiwa. 
Sebagaimana ghibah itu haram, maka mendengarkannya juga diharamkan. (Abid Rohmanu: dari berbagai sumber)
 
 
 
 


0 coment:
Posting Komentar
Berikan Pendapat atau Argumen Anda...!!!