BAB I
PENDAHULUAN
A.     Kata Pengantar
Keberhasilan Rasulullah Saw dalam menyebarkan agama Islam benar-benar
 mengagumkan. Hanya dalam waktu kurang dari 25 tahun beliau berhasil 
mengubah masyarakat jahiliah yang sangat dekaden menjadi masyarakat yang
 berperadaban tinggi dan sangat disegani bangsa-bangsa di sekitarnya. 
Beliau berhasil menegakkan suatu negara yang oleh sosiolog modern 
seperti Robert M. Bella diakui sebagai negara yang boleh disebut sebagai negara modern.
Konstitusinya
 yang dikenal dengan Piagam Madinah (Al-Shahifah Al-Madinah) dipandang 
oleh Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid) mirip dengan Undang-Undang Dasar 
1945 yang mengatur suatu masyarakat majemuk. Kemudian,
 tidak lebih dari 200 tahun bangsa Arab telah menjadi satu-satunya super
 power di dunia saat itu, tidak saja dalam bidang politik, tetapi juga 
dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Hingga abad 18, karya-karya kaum 
Muslim zaman Abbasiah dipelajari dan dijadikan referensi di berbagai 
perguruan tinggi Eropa. Oleh karena itu, para sejarawan dan ahli-ahli 
dalam berbagai disiplin ilmu, baik dari kalangan Islam sendiri maupun 
dari luar Islam, terus-menerus mempelajari sejarah hidup Rasulullah saw.
 Mereka yakin, di dalam dakwah Rasulullah saw., terdapat kunci-kunci 
sukses yang dapat diteladani dan direaktualisasikan di zaman modern. 
Dengan semangat seperti itulah tulisan ini disajikan.
B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini secara garis besar rumusan masalahnya adalah :
a.       Apakah pengertian mora dan akhlaq (etika) ?
b.      Bagaimanakah cara untuk membangunan moral dan akhlak bangsa ?
c.       Kenapa memperbaiki diri sendiri lebih diutamakan dari pada memperbaiki sistem yang ada ?
d.      Seberapa pentingkah akhlakul karimah dalam kehidupan modern dan  makna amanah dalam konteks akhlak bangsa ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Moral dan Akhlak (etika)
Moral
 adalah prinsip-prinsip yang berhubungan dengan benar atau salah, 
pengertian tentang perbedaan antara salah dan benar. Sedangkan akhlak 
ialah seperangkat tata nilai yang bersifat samawi dan azali, yang 
mewarnai cara berfikir, bersikap dan bertindak seorang muslim terhadap 
alam lingkungannya.
Menurut Al-Ghazali :
Menurut Al-Ghazali :
Akhlak
 ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul 
perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan 
pikiran lebih dahulu.
Akhlak
 umumnya disama artikan dengan arti kata budi pekerti, kesusilaan atau 
sopan santun dalam bahasa Indonesia, atau tidak berbeda pula dengan arti
 kata ethic (etika).
Dimana-mana
 setiap kesempatan dan situasional orang berbicara tentang etika. Memang
 etika ini menarik untuk dibicarakan, akan tetapi sulit untuk 
dipraktekkan. Etika adalah sistem daripada prinsip-prinsip moral tentang
 baik dan buruk. Baik dan buruk terhadap tindakan dan atau perilaku. 
Ethics
 dapat berupa etika (etik), yaitu berasal dari dalam diri sendiri (hati 
nurani) yang timbul bukan karena keterpaksaan, akan tetapi didasarkan 
pada ethos dan esprit, jiwa dan semangat. Ethics dapat juga berupa 
etiket, yaitu berasal dari luar diri (menyenangkan orang lain), timbul 
karena rasa keterpaksaan didasarkan pada norma, kaidah dan ketentuan. 
Etika dapat juga berarti tata susila (kesusilaan) dan tata sopan santun 
(kesopanan) dalam pergaulan hidup sehari-hari baik dalam keluarga, 
masyarakat, pemerintahan, berbangsa dan bernegara. Dalam kelompok 
tertentu misalnya memiliki kode etik, rule of conduct, misalnya students
 of conduct, kode etik kedokteran, dan atau kode etik masing-masing 
sesuai dengan profesinya.
Kesusilaan
 adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati manusia. Kesusilaan
 mendorong manusia untuk kebaikan akhlaknya. Kesusilaan berasal dari 
ethos dan esprit yang ada dalam hati nurani. Sanksi yang melanggar kesusilaan adalah batin manusia itu sendiri seperti penyesalan, keresahan dan lain-lain.
Kesopanan
 adalah peraturan hidup yang timbul karena ingin menyenangkan orang 
lain, pihak luar, dalam pergaulan sehari-hari, bermasyarakat, 
berpemerintahan dan lain-lain. Kesopanan dasarnya adalah kepantasan, 
kepatutan, kebiasaan, kepedulian, kesenonohan yang berlaku dalam 
pergaulan (masyarakat, pemerintah, bangsa dan negara). Kesopanan dititik
 beratkan kepada sikap lahiriah setiap subyek pelakunya, demi ketertiban
 dan kehidupan masyarakat dalam pergaulan. Sanksi terhadap pelanggaran 
kesopanan adalah mendapat celaan di tengah-tengah masyarakat lingkungan 
dimana ia berada, misalnya dikucilkan dalam pergaulan.
Apabila kita berbicara tentang etika ini, maka akan kita temukan beberapa pengertian antara lain :
Apabila kita berbicara tentang etika ini, maka akan kita temukan beberapa pengertian antara lain :
a.       Etika : sistem daripada prinsip-prinsip moral, dapat juga berarti rules of conduct, kode sosial (social code), etika kehidupan.  Dapat juga berarti ilmu pengetahuan tentang moral atau cabang filsafat.
b.      Ethos (jiwa) : karakteristik dari masyarakat tertentu atau kebudayaan tertentu.
c.       Esprit (semangat) : semangat d’corps, loyalitas dan cinta pada kesatuan, kelompok, masyarakat, pemerintah dan lain-lain.
d.      Rule
 (ketentuan, peraturan) : ketentuan-ketentuan dalam kebiasaan pergaulan 
masyarakat yang memberi pedoman atau pengawasan atau kegiatan tentang 
benar dan salah.
e.       Norma : merupakan standar, pola, patokan, ukuran, kriteria yang mantap dari masyarakat atau pemerintah.
f.        Moral : prinsip-prinsip yang berhubungan dengan benar atau salah, pengertian tentang perbedaan antara salah dan benar.
B.     Pembangunan Moral dan Akhlak Bangsa
Keberhasilan
 dan kegagalan suatu negara terletak pada sikap dan prilaku dari seluruh
 komponen bangsa, baik pemerintah, DPR (wakil rakyat), pengusaha, 
penegak hukum dan masyarakat. Apabila moral etik dijunjung oleh bangsa 
kita maka tatanan kehidupan bangsa tersebut akan mengarah pada kepastian
 masa depan yang baik, dan apabila sebaliknya maka keterpurukan dan 
kemungkinan dari termarjinalisasi oleh lingkungan bangsa lain akan 
terjadi.
Bangsa
 kita terlalu terkonsentrasi dengan teori politik dan teori kehidupan 
yang berkiblat pada dunia barat dan timur saat membangun masyarakat. 
Bahkan kecenderungan untuk meninggalkan identitas timur religius lebih 
kentara. Di era 1950 - 1960 an negara kita berganti-ganti haluan politik
 seperti liberalisme, capitalisme komunisme dan nasionalis agama 
(nasakom) pernah dilalui dengan menggunakan pola trycle and error, 
sehingga mengalami keterlambatan sikap karena sering berganti pola 
politik yang pada akhirnya kita mengalami keterpurukan dan mendapat 
label negara terburuk baik di level regional, Asia maupun dunia. Hal ini
 terjadi diseluruh aspek kehidupan; di dunia politik, ekonomi, sosial, 
budaya dan sistem penegakan hukum.
Selama
 ini pembangunan nasional meliputi bidang agama, sebagai buktinya secara
 kuantitatif dan formalitas tempat ibadah kita dan seremoni keagamaan 
kita tampak ramai. Namun krisis moral terjadi sampai kini, disinilah 
sebuah tantangan bagi pemerintah dan pemuka agama, formalitas vs 
realitas.
Jalan
 keluarnya adalah bahwa kini harus mempunyai orientasi berbeda dengan 
sebelumnya. Kalau masa lalu seluruh bentuk pembangunan, termasuk bidang 
agama, berorientasi pada monoloyalitas politik, kini tentu harus diubah 
total. Orientasinya hendaknya untuk memperbaiki moralitas bangsa kita 
dan untuk memberdayakan masyarakat pemeluknya untuk hidup aman (hasanah)
 di dunia dan di akhirat kelak.
Dengan
 demikian maka perbaikan masa depan bangsa harus dimulai dengan 
perbaikan etika moral yang berlandaskan agama, karena identitas bangsa 
kita adalah identitas timur yang religius dimana hampir seluruh agama 
yang terlahir di dunia ini semua berasal dari dunia timur; agama Yahudi,
 Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto berikut seluruh sektenya. 
Terutama harus dimulai dari perilaku para pemimpin bangsa, karena 
perilaku masyarakat pada umumnya seperti lokomotif dan gerbong, alurnya 
dari bawah hingga tingkat atas berjalan estafet mengikuti arah dan 
stratifikasi sosial yang ada.
Etika berkuasa menurut Al-Ghazali
Seperti
 hikmah-hikmah yang diungkapkan Imam Al-Ghazali tentang perilaku 
masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh perilaku pimpinannya :
"Jika penguasa korup, maka korupsi akan menjadi trend dikalangan para pengikutnya. Keruntuhan dan kemakmuran suatu bangsa sangat bergantung pada perilaku dan etika berkuasa pemimpinnya".
"Jika penguasa korup, maka korupsi akan menjadi trend dikalangan para pengikutnya. Keruntuhan dan kemakmuran suatu bangsa sangat bergantung pada perilaku dan etika berkuasa pemimpinnya".
"Agama
 dan kekuasaan adalah saudara kembar seperti dua orang bersaudara yang 
dilahirkan dari satu perut yang sama Oleh karena itu wajib bagi seorang 
penguasa untuk menyempurnakan agamanya dan menjauhkan hawa nafsu, 
bid'ah, kemungkaran, keragu-raguan dan setiap hal yang mengurangi 
kesempurnaan syariat".
"sesungguhnya tabi'at rakyat merupakan tabi'at dari para penguasa".
Orang-orang awam melakukan perbuatan yang merusak karena mengikuti perbuatan para pembesar, mereka meneladani dan mencontoh tabiat para pembesar, seperti yang terjadi pada sejarah al-Wahid bin Abdul Malik dari keturunan bani Umayyah memiliki kegemaran terhadap bangunan dan pertanian, maka dengan serta merta rakyat dan bangsanya turut meneladani, tetapi ketika Sulaiman bin Abdul Malik kegemarannya makan, jalan-jalan dan memperturutkankan syahwat maka seluruh rakyatnya meneladani dan mengikutinya.
Orang-orang awam melakukan perbuatan yang merusak karena mengikuti perbuatan para pembesar, mereka meneladani dan mencontoh tabiat para pembesar, seperti yang terjadi pada sejarah al-Wahid bin Abdul Malik dari keturunan bani Umayyah memiliki kegemaran terhadap bangunan dan pertanian, maka dengan serta merta rakyat dan bangsanya turut meneladani, tetapi ketika Sulaiman bin Abdul Malik kegemarannya makan, jalan-jalan dan memperturutkankan syahwat maka seluruh rakyatnya meneladani dan mengikutinya.
Jadi
 benang merah pembentukan masyarakat bangsa dan Negara berkehendak 
membentuk tatanan kehidupan yang memiliki etika moral yang berlandaskan 
agama adalah harus diawali dengan penataan kepemimpinan yang bersifat 
komprehensif, tidak saja presidenya akan tetapi seluruh komponen 
kepemimpinan; wakil rakyat, penegak hukum, pemegang kekuasaan di bidang 
perekonomian, pendidikan dan seluruh unsur birokrasi pelayanan rakyat 
harus ditata kembali. Pemimpin negara, wakil rakyat dan seluruh pemegang
 kekusaan dari gubernur sampai ke tingkat pemerintahan dan tokoh 
masyarakat etika dan moralnya harus merujuk kepada agama. Tidak ada lagi
 pemimpin yang dzalim kepada rakyat, bangsa dan negaranya. Rasulullah 
bersabda yang diriwayatkan dari Umar :
"
 Sesungguhnya ketika Allah menurunkan Adam ke bumi, diwahyukan kepadanya
 empat perkataan,. Allah berfirman , Wahai Adam, Ilmumu dan Ilmu 
keturunanmu terdapat dalam empat perkataan, yaitu satu perkataan 
untuk-Ku, satu perkataan untukmu, satu perkataan antara Aku dan engkau, 
serta satu perkataan antara engkau dan manusia; Perkataan untuku adalah 
sembahlah Aku dan jangan menyekutukan Aku, Perkataan untukmu adalah Aku 
akan menyelamatkanmu dengan ilmumu, Perkataan antara engkau dan Aku 
adalah engkau berdoa dan Aku yang akan mengabulkan, perkataan antara 
engkau dan manusia adalah berbuat adil dalam urusan mereka, dan berbuat 
adil lah diantara mereka ".
Ibnu Qatadah berkata :
Kedzaliman
 ada tiga jenis : Kedzaliman yang tidak ada ampunan bagi pelakunya, 
kedzaliman yang tidak terus menerus, dan kedzaliman yang terdapat 
ampunan bagi pelakunya; Kedzaliman yang tidak ada ampunan bagi pelakunya
 adalah menyekutukan Allah, kedzaliman yang tidak terus menerus adalah 
kedzaliman yang dilakukan sebagian manusia kepada sebagian lainnya. 
Sedangkan kedzaliman yang terdapat ampunan adalah kedzaliman manusia 
atas dirinya karena melakukan perbuatan dosa, kemudian ia bertobat dan 
kembali kepada rabbnya. Allah akan mengampuni orang itu karena 
rahmat-Nya, dan memasukannya ke surga dengan karunianya.
Memantapkan
 fungsi, peran dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spiritual dan
 etika dalam penyelenggaraan negara serta mengupayakan agar segala 
peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral 
agama-agama.
Meningkatnya pemahaman dan pengamalan ajaran agama bagi individu, keluarga, masyarakat dan penyelenggara negara dan terbangunnya harmoni sosial guna mempererat persatuan dan kesatuan nasional. Hal ini karena berkeyakinan bahwa pengembangan pribadi, watak dan akhlak mulia selain dilakukan oleh lembaga pendidikan formal, juga oleh keluarga, lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan tradisional keagamaan serta tempat-tempat ibadah.
Meningkatnya pemahaman dan pengamalan ajaran agama bagi individu, keluarga, masyarakat dan penyelenggara negara dan terbangunnya harmoni sosial guna mempererat persatuan dan kesatuan nasional. Hal ini karena berkeyakinan bahwa pengembangan pribadi, watak dan akhlak mulia selain dilakukan oleh lembaga pendidikan formal, juga oleh keluarga, lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan tradisional keagamaan serta tempat-tempat ibadah.
C.     Memperbaiki Diri Sebelum Memperbaiki Sistem
Di
 antara prioritas yang dianggap sangat penting  dalam  usaha perbaikan  
 (ishlah)  ialah  memberikan  perhatian  terhadap pembinaan  individu   
sebelum   membangun   masyarakat;   atau memperbaiki  diri  sebelum  
memperbaiki  sistem dan institusi. Yang paling tepat ialah  apabila  
kita  mempergunakan  istilah yang  dipakai  oleh  Al Qur'an yang 
berkaitan dengan perbaikan diri ini; yaitu:
"...Sesungguhnya
 Allah tidak mengubah keadaan suatu    kaum sehingga mereka mengubah 
keadaan yang ada pada    diri mereka sendiri..." (QS. Ar-Ra'd: 11)
Inilah
  sebenarnya  yang  menjadi  dasar  bagi  setiap   usaha perbaikan,  
perubahan,  dan pembinaan sosial. Yaitu usaha yang dimulai dari 
individu, yang menjadi  fondasi  bangunan  secara menyeluruh.  Karena  
kita tidak bisa berharap untuk mendirikan sebuah  bangunan  yang  
selamat  dan  kokoh  kalau   batu-batu fondasinya keropos dan rusak. 
Individu   manusia   merupakan  batu  pertama  dalam  bangunan 
masyarakat. Oleh sebab itu, setiap usaha yang diupayakan untuk membentuk
  manusia  Muslim yang benar dan mendidiknya dengan pendidikan Islam 
yang sempurna harus diberi  prioritas  atas usaha-usaha  yang  lain. 
Karena sesungguhnya usaha pembentukan manusia Muslim yang sejati sangat 
diperlukan bagi segala macam pembinaan  dan  perbaikan.  Itulah  
pembinaan  yang  berkaitan dengan diri manusia.
Sejak
 badai krisis multi dimensi merasuki bangsa Indonesia, secara langsung 
atau tidak langsung mempengaruhi cara hidup bermasyarakat, berbangsa dan
 bernegara, sehingga secara realitas kita seperti kehilangan visi dan 
misi atau arah keberadaannya. Fenomena kekerasan yang terkadang dibumbui
 sentimen agama, maraknya Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) dan cara 
penyelesaian segala persoalan yang pragmatis, menjadi pemandangan yang 
kontras dengan nilai-nilai keberagamaan bangsa yang konon tersohor di 
mata dunia akan kerukunan dan toleransinya. Lalu mengapa dengan cepat 
sekarang ini bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang bercitra negatif?
Krisis
 multi dimensi tidak segera lepas seperti negara lain yang mengalami 
nasib sama, sebab utamanya adalah karena mengingkari aspek spiritualitas
 dan religiusitas sebagai ciri dan kekayaan bangsa kita yang konon 
pluralis dalam agama dan kepercayaan yang adalah sumber dan asal-usul 
dari spiritualitas. Spritualitas dan religiusitas merupakan buah-buah 
atau rohnya umat beriman, dan jika tidak demikian niscaya umat beragama 
akan kehilangan jati diri keberimanannya, yang akhirnya akan jatuh pada 
aspek lahiriah yang berbaju formalitas, hirarkis, ritualis dan 
apologetis. Semua ini tentu saja jauh dari apa yang disebut agama 
sebagai pemberi inspirasi dan transubstansi yang kontekstual.
Lembaga
 pendidikan di segala tingkat sebagai wadah untuk meningkatkan kualitas 
SDM yang mengajarkan pendidikan keagamaan, selama ini belum mampu 
menjadi oase spritualitas karena metode pendidikan keberagamaan 
disampaikan seperti bidang studi lain, yang menekankan pengajaran dan 
transfer iptek dengan segala sistem dogmatika kurikulumnya. Sehingga 
aspek spritualitas nyaris belum tersentuh. Akibatnya peserta didik 
kurang respek terhadap hal-hal yang bernuansa keberagamaan, dan 
lambat-laun bangsa ini akan mengalami fase pemiskinan pengalaman 
beragama dalam entitasnya dengan kebersamaan.
Dan
 jika tidak segera tersolusi, maka di kemudian hari akan keropos, serta 
eksesnya akan menjadi bangsa dengan citra temperamental dan emosional. 
Dalam skala besar dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup 
berbangsa dan bernegara. Namun jika tertangani sejak dini maka akan 
dapat menjadi jaminan kokohnya keutuhan bersama sebagai anak bangsa. 
Semakin dini peserta didik harus dicerahkan untuk melihat dan mengalami 
bahwa hidup bersama dibangun berdasarkan pada kenyataan terutama dari 
aspek spritualitas. Berdasarkan itulah kebenaran, kejujuran, dan 
kedamaian tumbuh dan berkembang subur. 
Sesungguhnya
 keberagamaan mempunyai kemampuan luar biasa atau “mukjizat” untuk 
memberi kontribusi guna memecahkan persoalan apapun yang dialami bangsa 
atau umat manusia, sejauh para pemeluknya dapat memberdayakannya. 
Kekuatan dahsyat keberagamaan yang tidak dimiliki kekuatan lain ialah 
berupa kekuatan spiritual dan kekuatan sosial.
Sejauh ini hanya kekuatan sosial agama yang diberdayakan yang kentara bernuansa politis, sedang aspek spritualnya dimarginalkan atau dialternatifkan, yang berakibat ketidakseimbangan keberimanan terjadi dari hulu sampai ke hilir. Indikasi yang kasat mata, dimana persoalan hidup berbangsa tidak berkurang tetapi malah bertambah kuantitas dan kualitas kompleksitasnya, disamping itu para pemeluk agama berada diambang krisis spiritual dan jika dibiarkan eksesnya akan lebih dramatis dibandingkan dengan krisis-krisis lainnya.
Sejauh ini hanya kekuatan sosial agama yang diberdayakan yang kentara bernuansa politis, sedang aspek spritualnya dimarginalkan atau dialternatifkan, yang berakibat ketidakseimbangan keberimanan terjadi dari hulu sampai ke hilir. Indikasi yang kasat mata, dimana persoalan hidup berbangsa tidak berkurang tetapi malah bertambah kuantitas dan kualitas kompleksitasnya, disamping itu para pemeluk agama berada diambang krisis spiritual dan jika dibiarkan eksesnya akan lebih dramatis dibandingkan dengan krisis-krisis lainnya.
Berdasarkan
 akan realitas kekinian sangat tepat jika aspek spritualitas 
dikedepankan untuk memberi kontribusi mengatasi masalah sekarang ini. 
Dimana kekuatan politik, hukum, ekonomi, keamanan setelah diberi limit 
waktu tidak mampu mengentas apalagi menyembuhkan sakit kronis bangsa 
ini. Justru menjadi lahan konflik baru terutama di era otonomi daerah 
sekarang ini. Tidak ada jalan lain bagi bangsa ini yang memproklamirkan 
sebagai bangsa religius, untuk merefleksikan kembali secara bersama dan 
konsisten akan panggilan keberagamaannya dengan panduan para tokoh 
spritual.
Tokoh spritual biasanya justru lahir ketika zaman dalam kondisi chaos atau krisis seperti yang kita alami. Kelahirannya lebih dapat membawa harapan solusi dari pada tokoh elit dan tokoh birokratik. Paradigma tokoh spiritual ialah pribadi beriman yang konsekwen, sistematis merefleksikan panggilan keimanan dimana doa, dan kedisiplinan menjadi nafas hidupnya. Sehingga memurnikan motivasi paritipasinya bergulat dalam ziarah hidup bersama. Atau dengan kata lain pribadi yang menjalankan prinsi-prinsip kenabian dalam situasi dan kondisi kekinian, berani bersaksi dan bertindak atas nama kebenaran sekaligus menjadi mediator vertikal dengan Sang Pencipta maupun horisontal dngan sesama.
Tokoh spritual biasanya justru lahir ketika zaman dalam kondisi chaos atau krisis seperti yang kita alami. Kelahirannya lebih dapat membawa harapan solusi dari pada tokoh elit dan tokoh birokratik. Paradigma tokoh spiritual ialah pribadi beriman yang konsekwen, sistematis merefleksikan panggilan keimanan dimana doa, dan kedisiplinan menjadi nafas hidupnya. Sehingga memurnikan motivasi paritipasinya bergulat dalam ziarah hidup bersama. Atau dengan kata lain pribadi yang menjalankan prinsi-prinsip kenabian dalam situasi dan kondisi kekinian, berani bersaksi dan bertindak atas nama kebenaran sekaligus menjadi mediator vertikal dengan Sang Pencipta maupun horisontal dngan sesama.
Kemerdekaan
 menjadi kepribadiannya sekalipun tidak bisa tidak harus berdiri pada 
basis latar belakang kontekstualnya. Ia hadir sebagai agen perubahan 
mental dan sosial untuk memecahkan persoalan pada jamannya dan tidak 
pernah mengorbankan martabat manusia apapun alasannya. Tetapi kita masih
 harus bersabar dalam doa, karena sekalipun kondisi krisis sudah kronis 
belum ada tokoh spiritual yang terpanggil dan berani tampil dipentas 
publik. Malahan yang hadir tokoh politik, birokrat, pengusaha dan tokoh 
LSM yang selalu ironis dan tidak pernah bisa duduk bersama guna 
menyelesaikan masalah, tetapi malah saling berlawanan dan 
tuding-tudingan mencari pembenaran masing-masing.
Realitas
 tersebut membenarkan asumsi bahwa religiusitas dan spiritualitas kita 
belum sampai pada tahap internalisasi tetapi baru formalisasi. Indikasi 
langsung maupun tidak langsung yang terjadi adalah prestasi kebangsaaan 
kita terus berada pada titik nadir. Kecuali itu paradigma hidup 
berbangsa menjadi bias karena tidak mempunyai model spiritualitas yang 
legitim bagi semua anak bangsa.
Sebaliknya
 budaya KKN tumbuh subur, pelayanan dari negara tidak berjalan 
sebagaimana seharusnya, hati nurani tumpul nyaris tidak ada lagi 
semangat pengorbanan. Lalu narkoba, maksiat, judi, kriminalitas takhayul
 dan gejala destruktif lainnya dengan modus-operandi macam sindikat 
menjadi pemandangan sehari-hari. Sedang gejala krisis spiritualitas 
intern dalam keberagamaan di era globalisasi sekarang ini ialah umat 
beragama enggan, tabu dan tidak lagi mempercayai “mukjizat” sebagai 
kekayaan iman, tetapi malah vulgar meyakini hal-hal yang akrobatik dan 
spektakuler yang mudarat.
Sebagai
 orang beriman dan berdasarkan situasi kronis yang kita alami sebagai 
bangsa, nihil dapat mengentas persoalan, apalagi hanya mengandalkan 
rasio dan akal budi kecuali terjadi “mukjizat”. Oleh karena itu perlu 
adanya pemandangan baru tentang mukjizat dari para beriman secara wajar 
dan proporsional tidak ditabukan tetapi diberdayakan, bukan bagian 
sejarah masa lalu tetapi untuk sepanjang masa. Sejarah Nabi memang sudah
 ditutup atau berakhir, tetapi spiritualitas kenabian tidak akan pernah 
berakhir, justru harus semakin berkembang jumlah dan mutunya untuk 
mengawal sejarah hidup manusia.
Setiap
 agama dan kepercayaan sesuai dengan visi dan misinya mempunyai latar 
belakang pengalaman akan Sang Pencipta yang mempunyai mukjizat tinggi 
bagaimana para orang beriman memberdayakannya. Pertobatan dapat menjadi 
awal terjadinya mukjizat didukung sikap dan perilaku tidak dikotomis, 
artinya orang harus taat pada kebenaran dan menolak tegas segala bentuk 
kejahatan bukan dengan perkataan tetapi dengan konsekuensi. Apabila 
perilaku seperti itu yang terjadi terutama bagi para elit berarti 
“mukjizat” mulai terjadi. Kontribusi keberagamaan terealisir, 
spiritualitas meresapi selurruh pribadi, religiusitas tumbuh subur 
Indonesia baru yang dicita-citakan niscaya menjadi kenyataan
Kita
 masih berada pada posisi sulit dihadapkan dengan aneka masalah 
kebangsaan. Menginventarisasi masalah tentu mudah, namun meracik formula
 solusi yang tepat, apalagi mengimplementasikannya tidaklah gampang 
karena ruwetnya persoalan serba dimensi itu. Namun, tidak berarti bangsa
 ini pasrah saja karena selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah 
dengan kata kunci serius, kerja keras, padu, mendahulukan kepentingan 
bangsa, dan rela berkorban. Karenanya, perlu upaya menembus kebuntuan 
masalah, baik dengan terobosan jangka pendek maupun langkah strategis 
jangka panjang. Dalam beberapa segi pemerintah telah melakukan hal itu, 
namun masalah utama yang tampak benderang adalah masih jauhnya bangsa 
ini dari kata kunci di atas.
Tatanan
 sosial masyarakat di atas setidaknya dapat kita terjemahkan sebagai 
masyarakat madani. Sebuah tata masyarakat yang diyakini sebagai "anak 
kandung" dari peradaban Islam. Mengingat, karakteristik akhlak dan budi 
pekerti yang luhur, bersumber pada nilai dan ajaran agama terlihat 
begitu kentara di dalamnya. Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep 
yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep 
yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu.
 Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Al
 Quran.
Meski
 Al Quran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal
 namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip 
dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik.
 Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat 
meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan 
konsep masyarakat madani di Madinah.
D.    Akhlakul Karimah dalam Kehidupan Modern
Saat
 ini kita berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak 
hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi 
manusia modern, melainkan juga mengundang serentetan permasalahan dan 
kekhawatiran. Teknologi multimedia misalnya, yang berubah begitu cepat 
sehingga mampu membuat informasi cepat didapat, kaya isi, tak terbatas 
ragamnya, serta lebih mudah dan enak untuk dinikmati. Namun, di balik 
semua itu, sangat potensial untuk mengubah cara hidup seseorang, bahkan 
dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik keluarga yang semula sarat 
dengan norma susila .
Kita
 harus kaya informasi dan tak boleh ketinggalan, jika tidak mampu 
dikatakan tertinggal. Tetapi terlalu naif rasanya jika mau mengorbankan 
kepribadian hanya untuk mengejar informasi dan hiburan. Disinilah akhlak
 harus berbicara, sehingga mampu menyaring “ampas negatif” teknologi dan
 menjaring saripati informasi positif.
Dengan
 otoritas yang ada pada akhlakul karimah, seorang muslim akan berpegang 
kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal 
dasar pengembangan akhlak, sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen 
nilai adalah akidah yang kokoh, Akhlak, pada hakekatnya merupakan 
manifestasi akidah karena akidah yang kokoh berkorelasi positif dengan 
akhlakul karimah.
Mencermati
 Fenomena aktual di tengah masyarakat kita dapat memperoleh kesimpulan 
sementara bahwa sebagian hegemoni media secara umum, hegemoni televisi 
terasa lebih memunculkan dampak negatif bagi kultur masyarakat kita. 
Tidak dipungkiri adanya dampak positif dalam hal ini, meski terasa belum
 seimbang dengan “pengorbanan” yang ada.
Televisi
 yang sarat muatan hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa 
dengan berbagai tayangan yang seronok penuh janji kenikmatan, keasyikan,
 dan kesenangan. Belum lagi penayangan film laga yang berbau darah, atau
 iklan yang mengeksploitasi aurat. Adanya sekat-sekat kultur dipandang 
tidak relevan di era global ini, sehingga sensor dipandang sebagai 
sesuatu yang aneh dan tidak diperlukan lagi.Menghadapi fenomena seperti 
ini hanya satu tumpuan harapan kita, yakni pendarahdagingan akhlak 
melalui keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Adanya
 fenomena sosial yang muncul dalam beberapa tahun belakangan ini 
membutuhkan terapi yang harus dipikirkan bersama. Banyaknya mall, 
maraknya hiburan malam, beredarnya minuman keras dan obat terlarang, 
munculnya amukan massa merupakan fenomena yang harus dicermati dan 
dicarikan solusi. Munculnya mall di kota-kota besar, satu sisi membuat 
orang betah berbelanja di ruang-ruang sejuk yang sarat dengan dagangan 
tertata rapi dan warna-warni, tetapi disisi lain sebagian mall mulai 
difungsikan untuk mejeng bagi ABG dan mencari sasaran “pasangan sesaat” 
dengan imbalan materi maupun kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini 
gerakan bina moral serentak untuk menanamkan akhlakul karimah serasa 
tidak dapat ditunda lagi.
Belum
 lagi munculnya tempat hiburan malam yang dilengkapi dengan minuman 
keras serta peredaran obat-obat terlarang yang banyak menimbulkan 
korban-korban generasi muda. Menghadapi persoalan ini di samping 
perlunya pengawasan orang tua terhadap putera-puterinya di rumah 
disertai contoh yang baik dalam berakhlakul karimah, juga diperlukan 
tindakan represif dari aparat terkait.
Upaya
 menumbuhkan-kembangkan akhlakul karimah merupakan taggung jawab 
bersama, yakni keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Keempat 
institusi tersebut memiliki tanggung jawab bersama untuk 
mendarah-dagingkan akhlakul karimah, terutama di kalangan generasi muda.
Hampir
 setiap hari melalui media masa kita disuguhi munculnya fenomena amukan 
massa di beberapa kota besar yang ditandai dengan pembakaran pusat 
pertokoan, penghancuran tempat ibadah, bahkan perusakan kantor polisi 
maupun berbagai kalangan. Untuk menghindari terulangnya serangkaian 
peristiwa amukan tersebut, di samping perlu dicari akar masalahnya dan 
diselesaikan, fenomena tersebut hendaknya dijadikan pemicu gerakan 
pendidikan moralitas bangsa, dengan menjadikan akhlakul karimah sebagai 
acuan utama.
Urgensi
 akhlak semakin terasa jika dikaitkan dengan maraknya aksi perampokan, 
penjambretan, penodongan, korupsi, manipulasi, dan berbagai upaya untuk 
cepat kaya tanpa kerja keras. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut 
tidak cukup hanya dilakukan tindakan represif akan tetapi harus melalui 
penanaman akhlakul karimah. Tanpa upaya prefentif, segala bentuk upaya 
represif tidak akan mampu menyelesaikan masalah, karena semua pelaku 
kejahatan selalu patah tumbuh hilang berganti.
Serangkaian
 fenomena “miring” tersebut merupakan dampak negatif dari modernitas 
yang ada di tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak 
memungkinkan untuk melarikan diri dari kenyataan modernitas. Modernitas 
tidak perlu dijauhi, karena kesalahannya tidak terletak pada 
modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat komitmen nilai dari 
moralitas bangsa dan umat dalam merespon arus modernitas yang semakin 
sulit dibendung.
Di dalam menyongsong kemajuan zaman, bangsa Indonesia
 harus memiliki moral kualitas unggul. Bangsa yang unggul dalam 
perspektif Islam adalah bangsa yang berakhlakul karimah. Hal ini selaras
 dengan sabda Rasulullah
Artinya: “Sesungguhnya yang paling unggul di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya” (H.R. Bukhari).
Bahkan dalam Hadits lain Rasulullah bersabda:
Artinya: “Yang disebut bagus adalah bagus akhlaknya”. (H.R. Muslim).
Akhirnya, jelas urgensi pendarah-dagingan akhlak bagi bangsa yang mayoritas Muslim seperti bangsa Indonesia ini.
Akhirnya, jelas urgensi pendarah-dagingan akhlak bagi bangsa yang mayoritas Muslim seperti bangsa Indonesia ini.
E.     Makna Amanah Dalam Konteks Akhlak Bangsa
Dari segi bahasa, amanah ada hubungannya dengan iman dan aman.
Artinya sifat amanah itu dasamya haruslah pada keimanan kepada Alloh
SWT, dan dampak dari sifat amanah , atau pelaksanaan dari hidup
amanah itu akan melahirkan rasa aman, rasa aman bagi yang
bersangkutan dan rasa aman bagi orang lain. Seperti yang tersebut di
muka, dari Al Qur'an amanah dapat difahami sebagai sikap kepatuhan
kepada hukum, tanggung jawab dan sadar atas implikasi dari suatu
keputusan. Dalam hadis amanah dapat difahami sebagai titipan dan juga
sebagai komitmen. Dalam konteks kehidupan berbangsa amanah artinya
semangat kepatuhan kepada hukum, baik hukum Tuhan yang universal
maupun hukum positip (nilai maupun bunyinya), bertanggung jawab
kepada Tuhan, negara dan diri sendiri, serta sadar atas implikasi
dari suatu keputusan yang mungkin akan menimpa banyak pihak.
SWT, dan dampak dari sifat amanah , atau pelaksanaan dari hidup
amanah itu akan melahirkan rasa aman, rasa aman bagi yang
bersangkutan dan rasa aman bagi orang lain. Seperti yang tersebut di
muka, dari Al Qur'an amanah dapat difahami sebagai sikap kepatuhan
kepada hukum, tanggung jawab dan sadar atas implikasi dari suatu
keputusan. Dalam hadis amanah dapat difahami sebagai titipan dan juga
sebagai komitmen. Dalam konteks kehidupan berbangsa amanah artinya
semangat kepatuhan kepada hukum, baik hukum Tuhan yang universal
maupun hukum positip (nilai maupun bunyinya), bertanggung jawab
kepada Tuhan, negara dan diri sendiri, serta sadar atas implikasi
dari suatu keputusan yang mungkin akan menimpa banyak pihak.
1.      Amanah Dalam arti Kepatuhan Kepada Hukum
Hukum,
 baik hukum agama maupun hukum negara dimaksud untuk mengatur kehidupan 
manusia sebagai makhluk yang beradab, yang membedakannya dari hewan. 
Pelaksanaan hukum dimaksud untuk membela manusia agar mereka tetap 
terhormat sebagai manusia, menjamin agar setiap orang dilindungi 
hak-haknya dan dijamin keberadaanya di jalan kebenaran dan keadilan. 
Dengan hukum manusia bisa bergaul, berjuang dan bersaing secara fair 
sehingga setiap orang berpeluang sama untuk meraih hak- haknya. 
Penegakan hukum oleh aparat negara akan memberikan rasa aman dan rasa 
keadilan kepada masyarakat, dan pada gilirannya akan menumbuhkan 
apresiasi hukum oleh masyarakat. Pada masyarakat yang telah memiliki 
apresiasi hukum, pelanggaran hukum oleh warga akan menimbulkan gangguan 
psikologis pada masyarakat. Pengabaian penegakan hukum oleh aparat hukum
 akan mengusik rasa keadilan masyarakat, yang pada gilirannya akan 
melahirkan protes atau malah frustrasi sosial yang dapat mengkristal 
menjadi ledakan sosial.
Pada
 masyarakat yang paternalis seperti masyarakat Indonesia, contoh 
kepatuhan kepada hukum oleh elit sosial akan sangat efektif dalam
menanamkan kesadaran hukum. Demikian juga penegakan hukum tanpa
pandang bulu —terutama kepada kelompok kuat— akan memberikan rasa
keadilan dan kedamaian yang luar biasa kepada masyarakat luas. Hadis
Nabi mengingatkan bahwa kehancuran suatu bangsa antara lain
diakibatkan oleh pelaksanaan hukum yang pilih kasih, jika yang
melanggar hukum orang lemah, hukum ditegakkan, tetapi jika
pelanggarnya orang kuat, hukum tidak ditegakkan. Nabi mengatakan:
Seandainya Fatimah putri Rasul mencuri pasti hukum potong tangan akan
dilaksanakan juga.
menanamkan kesadaran hukum. Demikian juga penegakan hukum tanpa
pandang bulu —terutama kepada kelompok kuat— akan memberikan rasa
keadilan dan kedamaian yang luar biasa kepada masyarakat luas. Hadis
Nabi mengingatkan bahwa kehancuran suatu bangsa antara lain
diakibatkan oleh pelaksanaan hukum yang pilih kasih, jika yang
melanggar hukum orang lemah, hukum ditegakkan, tetapi jika
pelanggarnya orang kuat, hukum tidak ditegakkan. Nabi mengatakan:
Seandainya Fatimah putri Rasul mencuri pasti hukum potong tangan akan
dilaksanakan juga.
Masyarakat
 amanah secara hukum adalah masyarakat yang menjunjung tinggi 
hukum-hukum yang telah disepakati mengatur kehidupan mereka, mematuhi 
rambu-rambunya dan menegakkan sanksi hukum atas pelanggarnya. Bangsa 
yang memegang teguh amanah dalam perspektip hukum adalah bangsa yang 
mampu mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sistem hukum 
yang memenuhi rasa keadilan rakyatnya.
2.      Amanah Sebagai Titipan
Sesuatu
 yang dititipkan adalah sesuatu yang penjagaannya dipercayakan kepada 
orang yang dititipi hingga suatu saat sesuatu itu akan diambil oleh yang
 menitipkan. Maksud menitipkan adalah agar sesuatu yang dititipkan itu 
tetap terjaga dan terlindungi keberadaannya. Tanggung
jawab memelihara sesuatu yang dititipkan itulah yang disebut amanah.
Anak adalah amanah Allah kepada orang tuanya dimana orang tua
berkewajiban memelihara dan mendidiknya agar anak itu terpelihara dan
berkembang potensinya hingga ia kelak menjadi manusia yang
berkualitas sesuai derngan maksud penciptaannya. Isteri adalah amanah
Allah kepada suami dimana suami wajib melindunginya dari gangguan
yang datang, baik gangguan fisik maupun psikis' . Demikian juga suami
adalah amanah Allah kepada isteri dimana ia wajib memberikan sesuatu
yang membuatnya tenang, tenteram, aman dalam menjalankan tugas-tugas
hidupnya. Demikian seterusnya, mu-rid merupakan amanah bagi guru,
jabatan merupakan amanah bagi penyandangnya.
jawab memelihara sesuatu yang dititipkan itulah yang disebut amanah.
Anak adalah amanah Allah kepada orang tuanya dimana orang tua
berkewajiban memelihara dan mendidiknya agar anak itu terpelihara dan
berkembang potensinya hingga ia kelak menjadi manusia yang
berkualitas sesuai derngan maksud penciptaannya. Isteri adalah amanah
Allah kepada suami dimana suami wajib melindunginya dari gangguan
yang datang, baik gangguan fisik maupun psikis' . Demikian juga suami
adalah amanah Allah kepada isteri dimana ia wajib memberikan sesuatu
yang membuatnya tenang, tenteram, aman dalam menjalankan tugas-tugas
hidupnya. Demikian seterusnya, mu-rid merupakan amanah bagi guru,
jabatan merupakan amanah bagi penyandangnya.
Dalam
 sebuah hadis tentang perkawinan dinyatakan bahwa seorang wanita menjadi
 halal digauli oleh lelaki (suaminya) dengan menyebut kalimat Allah, dan
 si suami mengambil oper tanggung jawab atas isterinya dengan amanat 
Allah (wa akhodztumu hunna biamanatillah).
3.      Amanah Sebagai Tanggung Jawab
Predikat manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, disamping
mengandung makna kewajiban manusia menegakkan hukum Tuhan di muka bumi juga mengandung arti hak manusia mengelola alam sebagai fasilitasnya. Apakah alam, laut, udara dan bumi memberi manfaat kepada manusia atau tidak bergantung kepada kemampuannya mengelola alam ini. Banjir, kekeringan, tandus, polusi dan sebagainya sangat erat dengan kualitas pengelolaan manusia atas alam. Dalam al Qur'an, tegas disebutkan bahwa kerusakan yang nyata-nyata timbul di daratan dan di lautan merupakan dampak dari ulah manusia yang tidak bertanggung jawab(Q/30:41).
mengandung makna kewajiban manusia menegakkan hukum Tuhan di muka bumi juga mengandung arti hak manusia mengelola alam sebagai fasilitasnya. Apakah alam, laut, udara dan bumi memberi manfaat kepada manusia atau tidak bergantung kepada kemampuannya mengelola alam ini. Banjir, kekeringan, tandus, polusi dan sebagainya sangat erat dengan kualitas pengelolaan manusia atas alam. Dalam al Qur'an, tegas disebutkan bahwa kerusakan yang nyata-nyata timbul di daratan dan di lautan merupakan dampak dari ulah manusia yang tidak bertanggung jawab(Q/30:41).
Demikian
 juga tidak berfungsinya sumberdaya alam bagi kesejahtreraan hidup 
manusia merupakan akibat dari perilaku manusia yang tidak dapat 
dipertanggungjawabkan (Q/ 7:96) 
Tanggungjawab
 artinya, setiap keputusan dan tindakan harus diperhitungkan secara 
cermat implikasi-implikasi yang timbul bagi kehidupan manusia dengan 
memaksimalkan kesejahteraan dan meminimalkan mafsadat dan mudharat. 
Setiap keputusan mengandung implikasi-implikasi positif dan negatif, 
yang mendatangkan keuntungan dan yang mendatangkan kerugian. Jika 
peluangnya berimbang, maka mencegah hal yang merusak harus didahulukan 
atas pertimbangan keuntungan (dar'u al mafasid muqaddamun 'al/1 jalb al 
masalih). Contohnya: menebang hutan itu mudah dalam menambah keuangan 
negara, tetapi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat penebangan 
hutan lebih berat dan lebih mahal biaya rehabilitasinya dibanding 
keuntungan yang diperoleh.
Pejabat
 publik (Presiden, Gubemur, Menteri dan seterusnya hingga jabatan 
terendah) adalah pemegang amanah tanggung jawab. Otoritas yang 
dipegangnya bukan pada aspek kekuasaan, tetapi pada aspek pengelolaan 
dan pelayanan, sehingga seorang pemimpin disebut sebagai pelayan 
masyarakat (sayyid al qaumi khodimuhum). Keputusan yang diambil oleh 
seorang pejabat publik berpeluang untuk menimbulkan implikasi yang luas 
kepada kehidupan masyarakat luas. Jika kepu tusannya tepat, maka 
manfaatnya akan dinikmati oleh banyak orang, tetapi jika keputusannya 
keliru maka dampak negatipnya hams di tanggung oleh masyarakat luas.
Seorang
 pejabat publik dituntut untuk memiliki tanggung jawab besar dalam 
membuat keputusan, yaknimendatangkan sebanyak-banyaknya manfaat bagi 
masyarakat dan menekan sekecil mungkin resiko yang hams dipikul orang 
banyak. Tanggung jawab bagi seorang pejabat publik juga berarti ia layak
 memperoleh pujian dan penghormatan jika pekerjaannya baik, dan 
sebaliknya ia dapat dikritik, dicaci, dipecat atau bahkan dihukum 
penjara jika keputusan dirinya keliru. Pemerintah sebagai pemegang 
Amanah Penderitaan Rakyat artinya Pemerinrtah dibebani tanggung jawab 
untuk melakukan hal-hal yang dapat mengurangi atau bahkan menghilang kan penderitaan yang dirasakan oleh rakyatnya.
BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Islam
 sebagai sistem kehidupan yang syamil, kamil & mutakamil (Sempurna 
dan paripurna) dengan dilandasi aqidah yang salim (Selamat) pada 
akhirnya membentuk sebuah masyarakat utama. Maka tugas masyarakat yang 
pertama adalah memelihara aqidah, menjaga dan memperkuat serta 
memancarkan sinarnya keseluruh penjuru dunia. Bagaimana islam sebagai 
sebuah sistem dan landasan aqidah yang kuat menghadapi persoalan 
kontemporer dan bagaimana pula islam memandang hal al-fundamental pada 
sisi ruang, waktu dan aktivitas kehidupan manusia ? islam sebagai manhaj
 (jalan/metodologi) memiliki banyak keunggulan yaitu : 
1.      Kebenaran manhaj islam telah teruji dan sejarah telah menjadi saksi atas keunggulannya . 
2.      Manhaj
 islam telah berhasil mencetak umat paling kuat, paling utama, paling 
sarat kasih sayang, dan paling diberkati diantara bangsa-bangsa yang 
ada. 
3.      Dengan
 kesucian manhaj islam telah berhasil mencetak umat islam dan telah 
bersemayamnya manhaj ini dalam dada manusia, menjadikannya mudah 
diterima semua kalangan, mudah dipahami, dan mudah diikuti 
pesan-pesannya. Apalagi islam juga membenarkan bahkan menanamkan 
kebanggaan berbangsa dan memberikan bimbingan kepada manusia untuk 
mencintai tanah airnya. Mengapa demikian ? karena kita harus membangun 
kehidupan ini diatas nilai-nilai kehidupan kita sendiri, tanpa perlu 
mengambil milik orang lain. Dan pada yang demikian itulah kita dapatkan 
hakikat kemerdekaan sosial dan kemuliaan hidup setelah kemerdekaan 
secara politik. 
4.      Berjalan
 diatas jalan ini berarti mengokohkan persatuan arab secara khusus, dan 
persatuan islam secara umum. Dunia islam dengan segenap jiwanya telah 
memberikan kepada kita kepekaan perasaan, kelemah lembutan, dan 
dukungan, sehingga kita menyaksikan sebuah jalinan yang demikian kuat 
antara kita dengan islam, yang keduanya saling memberi dukungan dan 
saling menghormati. Pada yang demikian itu ada sebuah keberuntungan 
(peradaban ) yang besar, yang tidak mungkin diingkari oleh siapapun. 
5.      Manhaj
 islam adalah manhaj yang sempurna dan menyeluruh. Ia memuat sistem 
paling utama untuk memandu kehidupan umat secara umum, baik kehidupan 
lahiriah maupun batiniah. Inilah keistimewaan islam apabila dibandingkan
 dengan ajaran lain, dimana ia islam meletakkan undang-undang kehidupan 
umat ini diatas dua pondasi pokok : mengambil yang maslahat dan menjauhi
 yang madharat.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyimsyah Nasution MA. Dr. Filsafat Islam ( Gaya Media Pratama Jakarta, 2002). 
Mustofa H. Drs. Filsafat Islam (Pustaka Setia Bandung 1997)
Ibrahim Madkour, el Farabi dalam MM Sharif 9 ( ed) A history of Muslim Philosophy 1963).
Ibrahim Madkour, el Farabi dalam MM Sharif 9 ( ed) A history of Muslim Philosophy 1963).
Tj. De Boer , Tarekh al- Falsafah fi al- Islam , terjemahan Arab oleh Abd al Hadi abu raidah 1988.
Dewan enseklopedi islam ,Ensiklopedi islam (Jakarta ichtiyar baru van hoeve ,1997).
Imam Munawwir ( Pt Bina Ilmu , Surabaya, 2006 ).
 
 
 
 


0 coment:
Posting Komentar
Berikan Pendapat atau Argumen Anda...!!!