A. Pengertian Guru Agama
Guru agama atau pendidik ialah: orang yang memikul tanggung jawab
untuk membimbing. Guru tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu
hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi yang
tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang pengajar apabila ia berhasil
membuat pelajar memahami dan menguasai materi pelajaran yang diajarkan
kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggungjawab
menyampaikan materi pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk
kepribadian seorang anak didik bernilai tinggi.[1]
K.H. Moh. Syafi’i Hadzami mengatakan guru agama adalah “pemimpin dan pembimbing rohani umat”.[2]
Menurut Khurshid Ahmad ada dua fungsi dasar pendidikan pada setiap masyarakat yaitu:
1. Alat untuk memelihara memperluas dan menghubungkan
tingkat-tingkat kebudayaan nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide
nasional dan masyarakat.
2. Alat untuk perubahan, inovasi, perkembangan dan secara garis
besar melalui pengetahuan dan skill (ketrampilan) yang baru ditemukan
dan melatih tenaga-tenaga manusia produktif untuk menemukan pertimbangan
perubahan sosial ekonomi.[3]
Dalam pendidikan Islam tidak hanya menyiapkan seseorang anak didik
memainkan peranannya sebagai individu dan anggota masyarakat saja,
tetapi juga membina sikapnya terhadap agama tekun berikut mematuhi
peraturan agama, serta menghayati dan mengamalkan nilai hukum agama
dalam kehidupan sehari-hari.
Agar fungsi-fungsi tersebut dapat terlaksana dengan baik seorang guru
agama harus memenuhi persyaratan tertentu, sebagai berikut:
a. Beriman
Seorang guru Islam harus seorang yang beriman, yaitu meyakini akan
keesaan Allah. Iman kepada Allah merupakan asas setiap aqidah. Dan
dengan mengimankan Allah SWT selanjutnya akan diikuti pula dengan
keimanan kepada yang lainnya. Keyakinan terhadap keesaan Allah seperti
ini disebut tauhid.
b. Bertaqwa
Syarat yang terpenting yang harus pula dimiliki oleh guru agama
adalah taqwa, yang berarti menjaga diri agar selalu mengerjakan perintah
Allah dan meninggalkan laranganNya serta merasa takut kepadaNya baik
secara sembunyi maupun secara terang-terangan. Banyak ayat-ayat
Al-Qur’an yang memerintahkan dan mengajurkan untuk bertaqwa, seperti
dalam fiman Allah SWT: Ali-Imran: 102.
يأيهاالذين آمنوا اتقواالله حقّ تقاته، ولا تموتن إلاّ وانتم مسلمون.
Artinya : “Wahai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah
dengan sebenar-benarnya taqwa kepadanya, dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”.[4]
c. Ikhlas
Menurut Abdillah Ulwan “Guru Agama yang Ikhlas hendaklah berniat
semata-mata karena Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik
berupa perintah, larangan, nasihat, pengawasan atau hukuman yang
dilakukannya”.[5]
d. berakhlak
e. berkepribadian yang integral (terpadu)
f. Cakap
g. Bertanggung jawab
h. Keteladanan
i. Memiliki kompetensi keguruan
e. berkepribadian yang integral (terpadu)
f. Cakap
g. Bertanggung jawab
h. Keteladanan
i. Memiliki kompetensi keguruan
B. Fungsi dan Peran Guru Agama
Fungsi dan peran guru agama dalam interaksi edukatif sama dengan guru
pada umumnya. Guru mempunyai fungsi dan peran yang penting dalam
Interaksi edukatif di sekolah.
Karena tugasnya yang mulia, seorang guru menempati posisi yang mulia yang berfungsi :
1. Guru sebagai pemberi pengetahuan yang benar kepada muridnya.
2. Guru sebagai pembina akhlak yang mulia.
3. Guru sebagai pemberi petunjuk kepada anak tentang hidup yang baik.[6]
Peran dan kedudukan guru yang tepat dalam interaksi edukatif akan menjamin tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
Dalam interaksi edukatif, anak-anak juga menemui berbagai kesulitan.
Setiap anak tumbuh dan berkembang dalam berbagai irama dan variasi
sesuai dengan kodrat yang ada padanya. Ia akan belajar sekalipun akan
berhasil atau tidak dan juga dia tidak memikirkan apakah tingkah lakunya
mendatangkan pujian atau tidak. Ia belajar dengan caranya
sendiri-sendiri, sesuai dengan kemampuan dan potensi serta keterampilan
dan bakat yang ada padanya, ia belajar sesuai dengan individunya
masing-masing peran guru dalam membantu proses belajar murid sangatlah
diharapkan. Setiap guru harus mengetahui serta berusaha untuk memecahkan
kesulitannya.[7]
Menurut Zakiah Daradjat, unsur-unsur pokok yang perlu dipertahankan dalam masalah belajar adalah sebagai berikut :
- Kegairahan dan kesediaan untuk belajar,
- Membangkitkan Minat Murid,
- Menumbuhkan sikap dan bakat yang baik,
- Mengatur proses belajar mengajar,
- Berpindahnya pengaruh belajar dan pelaksanaannya dalam kehidupan nyata.
- Hubungan manusiawi dalam Proese Belajar Mengajar[8]
Roestiyah NK menyatakan peranan guru dalam interaksi edukatif adalah sebagai berikut :
- Fasilitas, yakni menyediakan situasi dan kondisi yang dibutuhkan individu yang belajar.
- Pembimbing, yakni memberikan bimbingan terhadap siswa dalam interaksi belajar mengajar, agar siswa tersebut mampu belajar dengan lancar dan berhasil secara efektif dan efisien.
- Motivator, yakni memberikan dorongan dan semangat agar siswa mau giat belajar.
- Organisator, yakni mengorganisasikan kegiatan belajar siswa maupun guru.
- Manusia sumber, dimana guru dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh siswa, baik berupa pengetahuan, keterampilan maupun sikap.[9]
C. Pengertian Akhlak
Menurut Widodo “Akhlak berarti budi pekerti, tingkah laku, perangai.[10]”
Perkataan akhlak berasal dari perbendaharaan istilah-istilah
Islamologi. Istilah lain yang mirip dengan akhlak adalah moral. Hakikat
pengertian antara keduanya sangat berbeda. Moral berasal dari bahasa
latin, yang mengandung arti laku perbuatan lahiriah.
Seorang yang mempunyai moral, boleh diartikan karena kehendaknya
sendiri berbuat sopan atau kebajikan karena suatu motif material, atau
ajaran filsafat moral semata. Sifatnya sangat sekuler, duniawi, sikap
itu biasanya ada selama ikatan-ikatan material itu ada, termasuk di
dalamnya penilaian manusia, ingin memperoleh kemasyhuran dan pujian dari
manusia. Suatu sikap yang tidak punya hubungan halus dan mesra dengan
yang maha kuasa yang transenden.[11]
Dengan moral saja, ia tidak punya sesuatu yang tertanam dalam jiwa, konsekwensinya mudah goyah dan kemudian hilang.
Berbeda dengan akhlak, ia adalah “perbuatan suci yang terbit dari
lubuk jiwa yang paling dalam, karenanya mempunyai kekuatan yang hebat.”[12]
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali berkata: “Akhlak adalah sifat
yang tertanam dalam jiwa, daripadanya timbul perbuatan yang mudah, tanpa
memerlukan pertimbangan terlebih dahulu”.[13]
Dari kutipan diatas penulis dapat ambil suatu kesimpulan bahwa akhlak
Islam adalah suatu sikap mental dan laku perbuatan yang luhur,
mempunyai hubungan dengan zat yang maha kuasa Allah. Akhlak adalah
produk dari keyakinan atas kekuasaan dan keesaan Alllah, yaitu produk
dari jiwa tauhid.
D. Macam-macam Akhlak
Imam Al Ghazali mengatakan bahwa akhlak ada dua macam :
- Akhlak Terpuji
Dalam masalah ini Imam Al-Ghazali menjelaskan beberapa pendapat Ulama tentang akhlak yakni sebagai berikut:
a. Hasan Al Bisri berpendapat bahwa akhlak yang terpuji yaitu manis
muka tidak suka menyakiti orang lain baik oleh perkataan maupun
perbuatan.
b. Al Wasith mengatakan ialah tidak memusuhi dan tidak dimusuhi orang karena sangat makrifat kepada Allah SWT.
c. Abu Ustman berkata akhlak yang baik ialah Ridho/puas terhadap ketentuan Allah baik yang senang ataupun yang tidak senang.
d. Abu Said Al-Harraj berpendapat bahwa akhlak yang terpuji ialah suatu sikap yang tidak ada baginya selain Allah SWT.[14]
Menurut Al Ghazali “Untuk mencapai akhlak yang mulia harus melalui
riyadhah yaitu suatu latihan yang diterapkan oleh kaum sufi, lalu beliau
menarik satu kesimpulan bahwa tasawuflah satu-satunya sarana yang akan
dapat menghantar kepada kebenaran sejati”.[15]
Imam Nawawi Al Bantani mengomentari karya Al Ghazali sebagai berikut: Di dalam diri manusia ada empat sifat :
a. Sifat ketuhanan (robbaniah) seperti: sabar, penyayang, belas kasih kepada sesama makhluk, dan lain sebagainya.
b. Sifat sabu’iyyah yaitu sifat binatang buas seperti marah, dengki,
memukul kiri kanan, memaki kian kemari, menghamburkan harta dengan
percuma dan lain-lain.
c. Sifat bahimiyyah, yaitu sifat hewan, umpamanya rakus laba dan
lain-lain sebagainya. Seseorang yang menganut sifat ini, maka akan
keluarlah berbagai macam perbuatan kejahatan, seperti pencurian,
penzinaan liwath dan sebagainya.
d. Sifat syaitaniah, yaitu sifat syetan dan iblis, yaitu dengki
banyak tipu daya, banyak helah, munafik, pembawa orang kepada perbuatan
mungkar dan kebinasaan, membawa orang kepada bid’ah dan kesesatan.
Umpamanya seseorang yang menganut sifat ini, maka dari padanya akan
memancarlah berbagai macam cabang kejahatan.[16]
Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak yang
mulia bersumber dari hati yang bersih, dari hati yang bersih inilah
lahirnya perbuatan-perbuatan terpuji tersebut, dan ini harus melalui
beberapa aqabah (tanjakan) yang harus dilahiri oleh seorang murid.
2. Akhlak Tercela.
Akhlak yang tercela lawan dari akhlak yang terpuji. Al Ghazali
mengatakan: “Bahwa akhlak yang tercela yang menyebabkan seseorang akan
binasa dunia akhirat”.[17]
Akhlak yang tercela yang menyebabkan manusia jauh dari Allah SWT,
karena itu, alangkah baiknya jika teori sufi kita terapkan kepada
peserta didik/siswa dewasa ini sebab pada realitanya hanya cara kaum
sufilah yang dapat membentuk akhlak siswa menjadi insan kamil atau
memiliki akhlak yang mulia, tetapi hal ini perlu diimbangi dan dipadukan
dengan orientasi dari sudut logika. Pendekatan filosofis diperlukan
untuk menganalisa dan menyaring secara kritis antara ajaran agama yang
benar dan yang tidak sesuai dengan tuntutan yang semestinya. Sesudah
ajaran itu jelas benarnya, agama harus diterima dan ditanggapi dengan
hati atau rasa, bukan dengan akal. Pendekatan etis akan menumbuhkan
perkembangan rasa agama yang dapat menselaraskan kukungan akal dan hati
manusia.[18]
Apabila kita mengkaji mengenai hakikat dan unsur-unsur dasar
peradaban, maka diperoleh kesimpulan bahwa akhlaklah sebagai hakikat
unsur peradaban, maka bagaimana bangsa Indonesia ini memiliki peradaban
yang tinggi kalau elit politiknya, masyarakatnya tidak berakhlak yang
mulia.
Dengan adanya krisis multi dimensi termasuk pendidikan faktor
utamanya adalah terabaikannya faktor moral dalam dunia pendidikan,
pendidikan moral di sekolah-sekolah kita ini sangat memprihatinkan. Oleh
karena itu penulis berpendapat marilah kita maksimalisasikan perlajar
akhlak, jangan hanya di SMPN saja akhlak diajarkan bahkan wajib akhlak
itu diajarkan pula di pelbagai lembaga pendidikan di negara kita ini dan
hendaklah elite politik menjadi tauladan bagi rakyatnya.
E. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Akhlak
Jika kita amati beberapa faktor yang dapat mempengaruhi akhlak siswa ada dua bagian: Pertama, faktor-faktor umum. Kedua, faktor-faktor khusus.
Faktor-faktor umum ialah lingkungan, baik keluarga maupun masyarakat, di antaranya adalah:
1. Orang tua
Kedua orang tua merupakan contoh bagi anak-anaknya. Oleh karena itu
baik dan buruknya seorang anak tergantung kepada pendidikan kedua orang
tua, anak diibaratkan seperti kertas yang masih bersih, kalau dihitamkan
ia akan menjadi hitam, kalau diputihkan ia akan menjadi putih.[19]
Hal ini pernah disinyalir oleh sabda Rasulullah SAW, yang artinya:
“Setiap bayi yang baru dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang
tuanyalah yang dapat menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani ataupun Majusi
(penyembah api) (H.R. Bukhari)”[20]
Para ulama telah memberikan berbagai interpretasi tentang fitrah
seperti yang disebutkan dalam Hadist di atas. Berdasarkan interprestasi
tersebut Muzayyin menyimpulkan “Bahwa fitrah adalah suatu kemampuan
dasar berkembang manusia yang dianugerahkan Allah kepadanya”.[21]
Di dalamnya terkandung berbagai komponen psikologis yang satu sama lain
saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia.
Kemampuan dasar (fitrah) itu banyak pula jenisnya Syahminan Zaini merinci jenis-jenis fitrah itu sebagai berikut:
- Fitrah beragama
- Fitrah intelek
- Fitrah sosial
- Fitrah ekonomi
- Fitrah politik
- Fitrah seni
- Fitrah harga diri
- Fitrah kemajuan
- Fitrah persamaan
- Fitrah persatuan
- Fitrah kemerdekaan
- Fitrah keadilan
- Fitrah susilasosial
- Fitrah kawin, dan
- Fitrah lain-lainnya.[22]
Salah satu fitrah di antara sekian banyak jenis fitrah itu adalah fitrah beragama yang didalamnya terkandung nilai-nilai akhlak.
2. Sekolah/madrasah
Sekolah adalah “Faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi
akhlak siswa setelah kedua orang tua karena seolah merupakan tempat
untuk mendidik dan membentuk akhlak para siswanya”.[23]
Jika kita membahas tentang kedudukan sekolah di masyarakat maka sekolahan berperan sebagai berikut:
- Guru merupakan wakil wali murid di dalam mendidik anaknya dari keterangan tersebut jelas bahwa sekolah tidak dapat menjalankan peranannya kalau tidak ada kerja sama antara pihak sekolah dan wali murid.
- Sekolah merupakan wahana untuk membentuk fitrah akhlak/agama, fitrah intelek, dan disini pula siswa cita-citanya dikembangkan dan diarahkan seoptimal mungkin.
Oleh karena itu guru tidak hanya mencerdaskan para siswanya tetapi
bagaimana ia membentuk dan meningkatkan akhlak para siswa. Inilah tujuan
pendidikan agama Islam yang urgen.
Adapun faktor-faktor khusus yang mempengaruhi akhlak adalah:
“Faktor-faktor yang dipilih dari antara faktor umum dengan tujuan dapat
mempengaruhi pada diri siswa tersebut dalam hal talentanya, supaya ia
kelak menjadi seorang yang sempurna, bermanfaat bagi umat dan tanah
airnya, seperti seorang dokter, guru, pejabat, pedagang dan lain
sebagainya”.[24]
[1] R.A. Mayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1998), h.36.
[2] Moh. Syafi’I Hadcami, Tauhidul Addilah. (Surabaya: Menara Kusud, 1986) H, 116.
[3] Richard Tauress, Word Religious In Education Approaches to Islam, (London: Joh Murry Ltd, 1982), h, 129
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan. (Jakarta: CV Samara Mandiri, 1999) h. 92.
[5] Abdillah Ulwan, Tarbiah Al Auladfil Islam. (Kairo : Darussalam Lian Thiba’an Wal Al Nar Waal Tauzi’ah), h, 44.
[7] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h. 45.
[8] Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru. (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h 15.
[9] Roestiyah NK. Masalah Penagajaran Sebagai Suatu Sistem. (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1982), h. 46.
[10] Widodo, Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Absolut, 2002), h.9.
[11] Masruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1987), h.49
[12] Ibid, h. 49
[13] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Libanon : Dar-al-Fikr Juz III, 1995), h.48
[14] Ibid, h. 47-48
[15] Ibid, h. 60
[16] Imam Nawawi Al Bantani, Maroqiyyul Ubudiya, (Surabaya : Daarul Ihya, 1997), h. 76.
[17] Al Ghazali, Ihya Ulumuddin Op. Cit., h. 48
[18] Musa Asy’arie, Islam Kebebasan dan perubahan , (Jakarta : Sinar Harapan, 1986), h.85
[19] Tarbiyah Watta’lin, Penyusun Dewan Guru Gontor Ponogoro, 1996, h.6
[20] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Op Cit. h.202
[21] Ahmad, Zainal ‘Abidin, Memperkembangkan dan Mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1982), h.20.
[22] Ahmad, Sa’ad Nursa, Tathawar al fikr al tar bawiyyah, (Kairo: Maktabah al Istiqlal al Kubro, 1970), h.30.
[23] Mahmud Yunus, Tabiyah watta’lin, (Gontor Ponorogo, 1999), h.71.
0 coment:
Posting Komentar
Berikan Pendapat atau Argumen Anda...!!!