Hukum Waris Dalam BW
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum
waris adalah kemampuan aturan yang mengatur akibat hukum harta kekayaan
pada kematian, peralihan harta kekayaan yang di tinggalkan orang yang
meninggal dunia dan akibat-akibat hukum yang di timbulkan peralihan ini
bagi para penerimanya, baik dalam hubungan dan perimbangan di antara
mereka satu dengan yang lain, maupun pihak ke 3. yang disebut pewaris
dalam kerangka ini adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan
harta kekayaan.
Sedangkan
(para) ahli waris (erfgenamen atau erfen) disini adalah mereka yang
menempati kedudukan hukum harta kekayaan sang pewaris, baik seluruhnya
maupun untuk bagian yang seimbang. Perolehan harta kekayaan untuk
seluruhnya atau untuk bagian yang seimbang tersebut menjadikan mereka
penerima-penerima dengan atas hak umum (verkrijgersonder al gemene
titel).
B. Rumusan masalah
a. Hukum Yang Bersifat Mengatur
b. Pengaturan Hukum Waris Dalam BW
c. Tempat Hukum Waris.
d. Anak Luar Kawin Sebagai Pewaris.
e. Syarat-syarat Umum Perwarisan
f. Bentuk Penolakan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Yang Bersifat Mengatur
Hukum
waris termasuk lapangan atau bidang hukum, semuacabang hukum yang
termasuk dalam bidang hukum perdata memiliki persamaan sifat dasar
antara lain: bersifat mengatur dan tidak ada unsur pelaksana/. Namun
untuk hukum waris BW, meskipun letaknya dalam bidang hukum perdata,
tetapi ternyata di dalamnya terdapat berntuk paksaa. Undur paksaan dalam
hukum waris BW misalnya ketentuan yang memberikan hak mutlak kepada
ahli waris tertentu atas sejumlah tertentu dari harta warisan atau
ketentuan yang melarang pewaris sewaktu hidupnya untuk membuat ketetapan
terhadap sejumlah tertentu dari hartanya, kalau toh di kala hidupnya
pewaaris telah membuat ketetapan seperti menghibahkan sejumlah tertentu
dari hartanya yang dilarang untuk itu, maka penerima hibah mempunyai
krwajiban hukum untuk mengembalikan harta yang telah di hibahkan
kepadanya tersebut ke dalam harta warisan guna memenuhi hak mutlak ahli
waris yang mempunyai hak mutlak [1]
B. Pengaturan hukum waris dalam BW.
Unsur kebendaan dalam hukum waris dalam kitab undang-undang hukum per data adalah mengatur tentang masalah kebendaan.
Undur-undur
hukum waris tidak semuanya di atur dalam buku II. Bahkan masalah harta
benda warisan tersebut ada yang di atur dalam buku I.
pasal 128 buku I misalnya menetapkan bahwa setelah bubarnya persatuan,
maka harta bernda kesatuan tersebut di bagi dua antara suami-istri
dengan tida mempersoalkan dari pihak mana harta banda trsebut di
peroleh. Masalah pengakuan anak yang menyebabkan anak luar kawin dapat
mewarisi diatur dalam buku I, teristimewa pasal 272 sampai KUH perdata
tetapi di atur dalam stantsblad 1917 nomor 129 yang brlaku khusus untuk
WNI golongan timur asing Tiongkoa.[2]
- Tempat Hukum Waris
pembuat
undang-undang yang menyusun code civil, memandang hukum waris terutama
sebagai suatu pengaturan harta kekayaan dan karenanya memasuki hukum
waris ke dalam buku 3 BW (buku 2 KUHP) yang mengatur cara-cara
memperoleh hak milik, sesuai dengann pasal 584 BW (buku 2 KUHP).[3]
Yang menggolongkan hak ahli waris sebagai hak-hak waristersebut sebagai
kebendaan dan sehubungan dengan hal itu memasukkannya kedalam buku 3 BW
(buku 2 KUHP).
Hukum
waris belanda, hasil perkawinan kedua tatanan hukum yang di sebut
diatas memiliki cirri-ciri kedua-duanya, kendatipun pembangunan hukum
waris belanda pada umumnya lebih mengandalkan hukum germania dari pada
hukum romawi. Namun perumusan pasal 584 BW (pasal 584 KUHP), pewarisan
menurut undang-undang atau pewarisan dengan wasiat di sebut sebaai salah
satu cara memperoleh hak milik. Apakah pandangan pembuat undang-undang
code lebih mendekati kebenaran ? memang tidak dapat diragukan lagi.[4]
- Anak luar kawin sebagai pewaris.
Soal mati dan hidupnya
umat manusia ada di tangan Allah. Ini adalah pandangan yang diyakini
kebenarannya secara Universal (seluruh umat manusia). Jika anak luar
kawin yang telah di akui meninggal dunia dan meninggalkan herta
kekayaan,siapakah yang berhakmewarisi harta kekayaan tersebut ? ada 3
pasal dalam KUH perdata yang memberikan arahan terhadap pertanyaan
tersebut, yakni pasal 870, 871 dan 873 ayat 2, dari pasal-pasal tersebut
dapat disimpulkan bahwa yang menjadi ahli waris, dari anak di luar
kawin sebagai pewaris: pertama, sami atau istri kawin sah yang hidup
terlena dan anak-anak sah serta sekalian keturunan, anak-anak sah
tersebut. Kedua, bapak dengan hak-hak masing-masing sebesar setengah
bagian. Ketiga, jika bapak atau ayah dan ibu mangakuinya telah meninggal
dunia semua, maka yang menjai ahli waris ANAK LUAR NIKAH yang telah di
akui tersebut adalah saudara-saudaranya. Keempat, apabila semua ahli
waris tersebut di atas tidak ada, maka yang akan menjadi ahli waris dari
anak luar kawin yang telah diakui dan telah meninggal dunia dengan
meninggalkan harta kekayaan adalah keluarga saudara terdapat dari bapak
atau ibu yang mengakuinya dengan mengesampingkan Negara.[5]
Sampai
dengan pemberlakuan undang-undang tanggal 27 oktober 1982v. 5 608,
tentang peniadaan pembedaan antaa keturunan yang sah dan anak luar kawin
dalam hukum waris, undang-undang mengenal bagian ketiga tile tersebut.
Hal ini menurut ketentuan-ketentuan pasal-pasal 909-920 BW (862-873
KUHP). Yang mengatur tentang kedudukan hukum waris anak-anak luar kawin.
Undang-undang ini berlaku surut terhitung mulai tanggal 14 juni 1979.
Perundang-undangan belgia, seperti kita maklumi mengenal perbedaan antara keturunan sah dan keturunan luar kawin.[6]
- Syarat- syarat Umum Pewarisan
Untuk dapat mewarisi harus di penuhi dua syarat:
1 Harus ada yang meninggal dunia dan
2. untuk memproleh harta peninggalan orang harus hidup pada saat pewaris meninggal dunia.
Penjelasan
syarat pertama: pewaris hanya berlangsung karena kematian (877 BW) (830
BW). Terkadang penting sekali untuk menetapkan dengan cermat saat
kematian. Biasanya di pakai sebagai patokan berhentinya detakan jantung,
berlainan dengan ungkapan tradisional yang berbicara tentang hembusan
nafas yang teakhir.
Baik
berhentinya detak jantung, maupun tidak berfungsinya alat-alat
pernafasan merupakan tanda-tanda imenensi kematian. Namun
peristiwa-peristiwa tersebut belum dianggap sebagai bukti mutlak yang
pada saat ini di pakai sebagai dengan kematian (pangkal) otak.
Penjelasan
syarat kedua: untuk dapat bertindak sebagai ahli waris, ia harus ada
pada saat harta peninggalan tebuka (883 BW) (836 KUHP). Aturan ini yang
berlaku bagi ahli waris karena kematian, di berikan untuk pewarisan
dengan wasiat dalam pasal 946 BW (pasal 899 BW). Berlawanan dengan ini
aturan yang memuat dalam pasal 877 BW (830 KUHP) bagi pewarisan dengan
wasiat tidak di ulang.
- Bentuk Penolakan
1103,
orang-orang yang dipanggil oleh undang-undang atau oleh wasiat atau
oleh keduanya untuk menerima harta peninggalan dapat keluar dari
kelompok ahli waris dengan menolak harta peninggalan. Dengan demikian ia
melepas aktiva dan membebaskan dirinya dari pasiva.
Sebagai
mana halnya dengan berpikir dan menerima benefisier, menolakpun mesti
di lakukan dengan tegas. Hal itu dilakukan dengan cara memberikan suatu
keterangan di kepaniteraa pengadilan rumah kematian. Surat tdak
diperlukan pegawai di kepaniteraan, di hadapan siapa keterangan itu di
berikan akan membuat suatu akta dalam pasal 1070 dan 1075 di atur
tentang pembukuan akta ini dalam suatu register yang disediakan untuk
itu syarat ini disini di tiadakan.
Penolakan
adalah melepaskan suatu hak sebagaimana halnya dengan setiap melepaskan
hak hanya, mulai berlaku dengan menyatakan kehendaknya untuk itu kepada
orang yang bersangkutan dalam hal ini ahli waris.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Semua cabang hukum yang termasuk dalam bidang hukum perdata memiliki persamaan sifat dasar.
Warisan akan diperoleh apabila pewaris meninggal dan pewaris harus ada pada saat harta peninggalan terbuka (883 BW) (836 KUHP)
Ahli waris tidak akan menerima warisan apabila di ahli waris menolak herta peninggalan. (1103).
DAFTAR PUSTAKA
- Afandi, ali “ Hukum Waris, Hukum Keluarga Dan Hukum Pembuktian “. PT. bina aksara, Jakarta. 1984
- Amanat,Anisitus “ Membagi Warisan Berdadsarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW”. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000.
- Hartono, soerjopratiknjo “ Hukum Waris Testamenter “ Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1982
- Kitab UU hukum perdata, terjemahan Prof. R. Subekti, Pradnja Jakarta, 1970
- Pitlo “ hukum waris” Jilid 1, PT. INTERMASA, Jakarta 1991.
- Pitlo, seri “ Hukum Waris Buku Satu”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 1995
0 coment:
Posting Komentar
Berikan Pendapat atau Argumen Anda...!!!