sahabat adalah insan yang membuatmu lebih berarti
Tingkat Kontaminasi Mikroba pada Limbah Ayam Broiler
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakteri penyebab kebusukan dan kerusakan daging
Keberadaan kontaminan mikroba Eschericia coli, Salmonella sp. dan Listeria sp pada daging sangat dimungkinkan karena sifatnya seperti water activity (aw), pH dan zat gizi mendukung pertumbuhan mikroba tersebut (Hugas, 1998). Hal ini dapat menyebabkan penyakit dan bahkan kematian.
Strain patogen E.coli dapat menimbulkan penyakit diare berdarah, pembengkakan dan kelainan ginjal, demam, kelainan syaraf dan bahkan kematian (Veclerc et al., 2002). Di Amerika, dalam setahun diperkirakan terdapat 110.220 kasus infeksi akibat E.coli (STEC), 158.840 kasus infeksi E.coli (ETEC) dan diarrheogenic E. coli (Mead et al., dalam Scroeder et al., 2004). Escherichia coli dapat dijumpai pada daging masak yang terkontaminasi dengan daging mentah (Veclerc et al., 2002).
Salmonella sp. selain sebagai bakteri patogen juga pembusuk (Okolocha and Ellerbroek, 2005) sehingga dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius (Deumier and Collignan, 2003). Salah satu strain Salmonella yang terdapat pada daging yaitu Salmonella typhimurnium (Budde et al., 2003). Salmonella dapat menyebabkan gastroenteritis, demam enteric (thypoid dan parathypoid), septicemia (mikroorganisme berkembangbiak dalam aliran darah), diare, nausea dan muntah.
Listeria monocytogenes merupakan bakteri patogen penyebab wabah listeriosis (food borne disease) yang banyak terdapat pada daging dan produk mentah serta mampu bertahan pada suhu rendah. Kasus infeksi L.monocytogenes dilaporkan terdapat 228 kasus di Perancis tahun 1997 dan 2002, yaitu pasien sebanyak 63% bacteriemia dan 26% bermasalah dengan sistem syaraf (Veclerc et al., 2002).
Peningkatkan mutu dan keamanan daging dapat ditempuh dengan menurunkan jumlah mikroba patogen dan pembusuk secara biopreservasi (pengawetan alami) menggunakan bakteriosin (Hugas, 1998; Sullivan et al., 2002; Deegan et al., 2006). Biopreservasi menarik perhatian karena potensial untuk diaplikasikan dalam pengawetan pangan (Ammor et al., 2006) yaitu dengan mengontrol bakteri pembusuk dan patogen secara alami (Mataragas, 2003). Dengan biopreservasi maka waktu penyimpanan produk pangan dapat diperpanjang dan keamanan pangan dapat meningkat (Stiles dalam Hugas, 1998). Pemakaian bakteriosin komersial seperti Nisin sebagai biopreservatif sudah dilakukan di beberapa negara yang diaplikasikan pada beberapa jenis makanan dengan dosis yang bervariasi, bahkan beberapa negara tidak membatasi dosis.
2.2 Pengertian Limbah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18/1999 Jo.PP 85/1999, limbahdidefinisikan sebagai sisa atau buangan dari suatu usaha dan atau kegiatanmanusia. Limbah adalah bahan buangan tidak terpakai yang berdampak negatif terhadap masyarakat jika tidak dikelola dengan baik. Air limbah industri maupunrumah tangga (domestik) apabila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkandampak negatif bagi kesehatan.
Pencegahan dan penanggulangan dampak air limbah terhadap kesehatandapat dilakukan dengan mengidentifikasi jenis limbah, mengetahui dampaknyaterhadap kesehatan, dan cara pengolahannya. Pada saat ini, industry berkembangdengan pesat. Hal itu dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan.Penurunan kualitas lingkungan tersebut diakibatkan tidak terkendalinyapembuangan limbah dan emisi gas dari kegiatan industry. Limbah dari kegiatanindustri dapat berupa limbah cair, gas, dan padat (M. Zainal Abidin, 2010)
2.3 Pengelolaan Limbah
Pengelolaan limbah industri pangan (cair, padat dan gas) diperlukan untuk meningkatkan pencapaian tujuan pengelolaan limbah (pemenuhan peraturanpemerintah), serta untuk meningkatkan efisiensi pemakain sumber daya. Secaraumum, pengelolaan limbah merupakan rangkaian kegiatan yang mencakupreduksi (reduction), pengumpulan (collection), penyimpangan (storage),pengangkutan (transportation), pemanfaatan (reuse, recycling), pengolahan(treatment), dan/ atau penimbunan (disposal).Timbulnya limbah dan industri pangan, baik-limbah cair, padat maupungas, tidak dapat dihindari seratus persen. Setelah dilakukan usaha-usahaminimisasi melalui modifikasi proses maupun pemanfaatan (dengan prinsip produksi bersih), langkah berikutnya yang harus dilakukan adalahpengolahan/penanganan limbah tersebut untuk menghindari pencemaranlingkungan. Kriteria utama pengolahan limbah pada umumnya adalah pemenuhanbaku mutu yang berlaku dengan biaya minimum.Cleaner Production berfokus pada usaha pencegahan terbentuknya limbah.Dimana limbah merupakan salah satu indikator inefisiensi, karena itu usahapencegahan tersebut harus dilakukan mulai dari awal (Waste avoidance),pengurangan terbentuknya limbah (waste reduction) dan pemanfaatan limbahyang terbentuk melalui daur ulang (recycle). Keberhasilan upaya ini akanmenghasilkan penghematan (saving) yang luar biasa karena penurunan biayaproduksi yang signifikan sehingga pendekatan ini menjadi sumber pendapatan(revenue generator).Produksi Bersih (Cleaner Production) merupakan suatu strategi untuk menghindari timbulnya pencemaran industri melalui pengurangan timbulanlimbah (waste generation) pada setiap tahap dari proses produksi untuk meminimalkan atau mengeliminasi limbah sebelum segala jenis potensipencemaran terbentuk. Istilah-istilah seperti Pencegaha Pencemaran (PollutionPrevention), Pengurangan pada sumber (Source Reduction), dan MinimasiLimbah (Waste Minimization) sering disertakan dengan istilah Produksi Bersih(Cleaner Production) (Lintas Agency, 2010).Opsi dari manajemen penanganan limbah yang dapat dilaksanakan diindustri pangan antara lain adalah :
1. Pencegahan terbentuknya limbah yang berlimpah dengan caramempraktekkan teknologi proses yang lebih efisien.
2. Pelaksanaan proses daur ulang limbah yang dihasilkan ataumemanfaatkan limbah sebagai bahan baku industri lainnya, dan
3.Perbaikan kualitas limbah yang dihasilkan melalui proses pengolahanlimbah yang sistematis (Winiati P. Rahayu, 2008).Limbah harus diolah agar tidak mencemari dan membahayakan kesehatanlingkungan. Limbah harus dikelola untuk mengurangi pencemaran.Pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan menggunakan mesin-mesinuntuk mengurangi kadar yang berbahaya sebelum dibuang. Untuk limbah padatseperti bangkai ayam, diproses dengan menggunakan incinerator.sedangkan untuk limbah cair diproses dengan menggunakan sistem airasi (Charoen PokphandIndonesia, 2011).
2.4 Uji Angka Lempeng Total
Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui jumlah mikroba yang ada
pada suatu sampel, umumnya dikenal dengan angka lempeng total (ALT). Uji angka
lempeng total (ALT) dan lebih tepatnya ALT aerob mesofil atau anaerob mesofil
menggunakan media padat dengan hasil akhir berupa koloni yang dapat diamati
secara visual berupa angka dalam koloni(cfu) per ml/g atau koloni/100ml. Cara yang
digunakan antara lain dengan cara tuang, cara tetes dan cara sebar (BPOM, 2008).
Prinsip pengujian angka lempeng total menurut Metode Analisis Mikrobiologi
(MA PPOM 61/MIK/06) yaitu pertumbuhan koloni bakteri aerob mesofil setelah
cuplikan diinokulasikan pada media lempeng agar dengan cara tuang dan diinkubasi
pada suhu yang sesuai. Pada pengujian angka lempeng total digunakan Pepton
Dilution Fluid (PDF) sebagai pengencer sampel dan menggunakan Plate Count Agar
(PCA) sebagai media padatnya. Digunakan juga pereaksi khusus Tri Phenyl
Tetrazalim Chlotide 0,5 % (TTC).
Prosedur pengujian angka lempeng total menurut Metode Analisis
Mikrobiologi (MA PPOM 61/MIK/06) yaitu dengan cara aseptik ditimbang 25 gram
atau dipipet 25 ml sampel ke dalam kantong stomacher steril. Setelah itu
ditambahkan 225 ml PDF, dan dihomogenkan dengan stomacher selama 30 detik
sehingga diperoleh suspensi dengan pengenceran 10-1. Disiapkan 5 tabung atau lebih
yang masing-masing telah diisi dengan 9 ml PDF. Hasil dari homogenisasi pada
penyiapan sampel yang merupakan pengenceran 10-1 dipipet sebanyak 1 ml kedalam
tabung PDF pertama, dikocok homogen hingga diperoleh pengenceran 10-2. Dibuat
pengenceran selanjutnya hingga 10-6 atau sesuai dengan pengenceran yang
diperlukan. Dari setiap pengenceran dipipet 1 ml kedalam cawan petri dan dibuat
duplo, ke dalam setiap cawan dituangkan 15-20 ml media PCA yang sudah
ditambahkan 1% TTC suhu 45°C. Cawan petri segera digoyang dan diputar
sedemikian rupa hingga suspense tersebar merata. Untuk mengetahui sterilitas media
dan pengencer dibuat uji kontrol (blangko). Pada satu cawan diisi 1 ml pengencer dan
media agar, pada cawan yang lain diisi media. Setelah media memadat, cawan
diinkubasi suhu 35-37°C selama 24-46 jam dengan posisi dibalik. Setelah itu jumlah
koloni yang tumbuh diamati dan dihitung.
Hasil pengamatan dan perhitungan yang diperoleh dinyatakan sesuai
persyaratan berikut :
1. Dipilih cawan petri dari satu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni
antara 25-250. Jumlah koloni rata-rata dari kedua cawan dihitung lalu dikalikan
dengan faktor pengencerannya. Hasil dinyatakan sebagai angka lempeng total dari
tiap gram atau tiap ml sampel.
2. Bila salah satu dari cawan petri menunjukkan jumlah koloni kurang dari 25 atau
lebih dari 250, dihitung jumlah rata-rata koloni, kemudian dikalikan faktor
pengencerannya. Hasil dinyatakan sebagai angka lempeng total dari tiap gram
atau tiap ml sampel.
3. Jika terdapat cawan-cawan dari dua tingkat pengenceran yang berurutan
menunjukkan jumlah koloni antara 25-250, maka dihitung jumlah koloni dari
masing-masing tingkat pengenceran, kemudian dikalikan dengan faktor
pengencerannya. Apabila hasil perhitungan pada tingkat yang lebih tinggi
diperoleh jumlah koloni rata-rata lebih besar dari dua kali jumlah koloni rata-rata
pengenceran dibawahnya, maka ALT dipilih dari tingkat pengenceran yang lebih
rendah. Bila hasil perhitungan pada tingkat pengenceran lebih tinggi diperoleh
jumlah koloni rata-rata kurang dari dua kali jumlah rata-rata pada penenceran
dibawahnya maka ALT dihitung dari rata-rata jumlah koloni kedua tingkat
pengenceran tersebut.
4. Bila tidak ada satupun koloni dari cawan maka ALT dinyatakan sebagai < dari 1
dikalikan faktor pengenceran terendah.
5. Jika seluruh cawan menunjukkan jumlah koloni lebih dari 250, dipilih cawan dari
tingkat pengenceran tertinggi kemudian dibagi menjadi beberapa sektor (2, 4 dan
8) dan dihitung jumlah koloni dari satu sektor. ALT adalah jumlah koloni
dikalikan dengan jumlah sektor, kemudian dihitung rata-rata dari kedua cawan
dan dikalikan dengan faktor pengencerannya.
6. Jumlah koloni rata-rata dari 1/8 bagan cawan lebih dari 200, maka ALT
dinyatakan lebih besar dari 200 x 8 dikalikan faktor pengenceran.
7. Perhitungan dan pencatatan hasil ALT hanya ditulis dalam dua angka. Angka
berikutnya dibulatkan kebawah bila kurang dari 5 dan dibulatkan ke atas apabila
lebih dari 5.
8. Jika dijumpai koloni “spreader” meliputi seperempat sampai setengah bagian
cawan , maka dihitung koloni yang tumbuh diluar daerah spreader. Jika 75 % dari
seluruh cawan mempunyai koloni spreader dengan seperti diatas, maka dicatat
sebagai “spr”. Untuk keadaan ini harus dicari penyebabnya dan diperbaiki cara
kerjanya (pengujian diulang).
9. Jika dijumpai koloni spreader tipe rantai maka tiap 1 deret koloni yang terpisah
dihitung sebagai 1 koloni, dan bila dalam kelompok spreader terdiri dari beberapa
rantai, maka tiap rantai dihitung sebagai 1 koloni (BPOM RI, 2006).
Keuntungan dari metode pertumbuhan agar atau metode uji angka lempeng
total adalah dapat mengetahui jumlah mikroba yang dominan. Keuntungan lainnya
dapat diketahui adanya mikroba jenis lain yang terdapat dalam contoh. Adapun
kelemahan dari metode ini adalah :
1. Kemungkinan terjadinya koloni yang berasal lebih dari satu sel mikroba, seperti
pada mikroba yang berpasangan, rantai atau kelompok sel. Kemungkinan ini akan
memperkecil jumlah sel mikroba yang sebenarnya.
2. Kemungkinan adanya jenis mikroba yang tidak dapat tumbuh karena penggunaan
jenis media agar, suhu, pH, atau kandungan oksigen selama masa inkubasi.
3. Kemungkinan ada jenis mikroba tertentu yang tumbuh menyebar di seluruh
permukaan media agar sehingga menghalangi mikroba lain. Hal ini akan
mengakibatkan mikroba lain tersebut tidak terhitung.
4. Penghitungan dilakukan pada media agar yang jumlah populasi mikrobanya
antara 30 – 300 koloni. Bila jumlah populasi kurang dari 30 koloni akan
menghasilkan penghitungan yang kurang teliti secara statistik, namun bila lebih
dari 300 koloni akan menghasilkan hal yang sama karena terjadi persaingan
diantara koloni.
5. Penghitungan populasi mikroba dapat dilakukan setelah masa inkubasi yang
umumnya membutuhkan waktu 24 jam atau lebih (Buckle, 1987).
2.5 Escherichia coli
E-coli adalah gram-negatif, anaerobik fakultatif dan non spora. Sel-sel
biasanya berbentuk batang yang panjangnya sekitar 2 mikrometer (μm) dan
diameternya 0,5 μm r, dengan volume sel 0,6-0,7 μm 3. E. coli dapat hidup di
berbagai substrat. E. coli menggunakan fermentasi asam campuran dalam kondisi
anaerobik, menghasilkan laktat, suksinat, etanol, asetat dan karbondioksida.
Domain : Bakteri
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Order : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Species : Escherichia coli (Anonim, 2008).
Dalam bidang mikrobiologi pangan, dikenal istilah bakteri indikator sanitasi.
Bakteri indikator sanitasi adalah bakteri yang keberadaannya dalam pangan
menunjukkan bahwa pangan tersebut pernah tercemar oleh kotoran manusia dan atau
hewan, karena bakteri-bakteri tersebut lazim terdapat dan hidup pada usus manusia.
Jadi adanya bakteri tersebut pada pangan menunjukkan bahwa dalam satu atau lebih
tahap pengolahan pangan tersebut pernah mengalami kontak dengan kotoran yang
berasal dari usus manusia dan hewan. Sampai saat ini ada 3 jenis bakteri yang dapat
digunakan untuk menunjukkan adanya masalah sanitasi yaitu E. coli, kelompok
Streptococcus (Enterococcus) fekal dan C. perfringens (Hariyadi, 2005).
Menurut Brooks et al. (2005), E. coli merupakan mikroflora alami yang
terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Beberapa galur E. coli yang
dapat menyebabkan penyakit pada manusia adalah enteropathogenic E. coli (EPEC)
enterotoxigenic E. coli (ETEC), enterohaemorrhagic E. coli (EHEC), enteroinvasive
E. coli (EIEC), dan enteroaggregative E. coli (EAEC).
EPEC merupakan penyebab penting diare pada bayi, khususnya di negara
berkembang. EPEC melekat pada sel mukosa usus kecil. Faktor yang berhubungan
dengan kromosom mendukung perlekatan yang erat. Terjadi kehilangan mikrovili
(effacement), pembentukan filamentous actin atau struktur seperti cangkir dan
biasanya EPEC masuk ke dalam mukosa usus. Akibat dari infeksi EPEC adalah diare
yang cair, yang biasanya susah diatasi namun tidak kronis. Diare yang disebabkan
oleh EPEC berhubungan dengan berbagai serotipe spesifik dari E. coli.
ETEC merupakan penyebab diare pada wisatawan yang mengunjungi negara
yang standar higienitas makanan dan air minum lebih rendah dari negara asalnya.
Selain itu juga merupakan penyebab penting diare pada bayi di negara berkembang.
Beberapa strain ETEC memproduksi eksotoksin yang sifatnya labil terhadap panas
(LT, BM 80.000) di bawah kontrol plasmid. Beberapa strain ETEC menghasilkan
enterotoksin yang stabil terhadap panas (Sta, BM 1.500-4.000) di bawah kontrol
genetika dari beragam kelompok plasmid.
EHEC memproduksi verotoksin. Nama toksin didasarkan pada efek sitotoksik
pada sel vero, yang merupakan biakan sel ginjal monyet hijau di Afrika. EHEC
banyak dihubungkan dengan hemorrhagic colitis, sebuah diare yang parah dengan
sindroma uremic hemolytic, sebuah penyakit akibat kegagalan ginjal akut,
microangiopathi hemolytic anemia dan thrombocopenia. E. coli 0157:H7 akhirakhir
ini diketahui merupakan bakteri patogen penyebab foodborne disease.
EIEC menyebabkan penyakit yang mirip dengan shigellosis. Penyakit yang
terjadi umumnya pada anak di negara berkembang. EIEC menyebabkan penyakit
dengan menyerang sel epitelial mukosa usus.
Menurut Brooks et al. (2005), EAEC menyebabkan diare yang akut dan kronis
dalam jangka waktu > 14 hari pada orang di negara berkembang. Organisme ini juga
dapat menyebabkan foodborne disease di negara industri. Patogenesis EAEC sebagai
penyebab diare disebabkan karena EAEC melekat pada mukosa intestinal dan
menghasilkan enterotoksin dan sitotoksin. Akibatnya adalah pengeluaran sejumlah
besar mukus dan terjadinya diare.
Endo agar adalah media padat (solid plating media), digunakan untuk
menumbuhkan bakteri yang hidup di usus. Media ini mengandung natrium sulfit dan
“basic fuchsin” yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif. Asam
yang dihasilkan dari perombakan laktosa dapat dideteksi dengan asetaldehida dan
natrium sulfit (Koloni Escherichia coli warna merah dengan kilap logam)
(Firmansyah, 2010).
2.6 Salmonella Sp.
Syarat mutu karkas dan daging ayam dalam SNI 7388:2009 maupun syarat
peraturan yang berlaku di Amerika Serikat menyatakan bahwa Salmonella merupakan
bakteri patogen berbahaya sehingga di dalam produk pangan tidak diperbolehkan
mengandung Salmonella. Alasan dari dicanangkannya “zero tolerance” ini adalah
karena Salmonella bertanggung jawab sebagai penyebab gastroenteritis (Lindquist,
1998).
Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi, jika
tertelan dan masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut
salmonellosis. Salmonella yang mencemari makanan dapat berkembang biak secara
cepat karena keadaan lingkungan yang panas dan lembab menstimulir
pertumbuhannya. Salmonella mungkin terdapat pada makanan dalam jumlah tinggi
tetapi tidak selalu menimbulkan perubahan dalam hal warna, bau, maupun rasa dari
makanan tersebut. Semakin tinggi jumlah Salmonella di dalam suatu makanan, maka
semakin besar timbulnya gejala infeksi pada orang yang menelan makanan tersebut
dan semakin cepat waktu inkubasi sampai gejala infeksi (Supardi dan Sukamto,
1999).
Terdapat 1000 serotipe Salmonella bersifat patogen yang telah ditemukan
hingga saat ini dan diklasifikasikan menjadi 3 spesies yaitu S. cholerasuis, S. tiphy
dan S. enteritidis. Spesies Salmonella yang tidak menyebabkan demam enterik
bersifat parasit primer pada hewan (Lay dan Hastowo, 1992).
Salmonella merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae, berbentuk
batang Gram negatif, fakultatif anaerobik dan aerogenik. Biasanya bersifat motil dan
mempunyai flagella peritrikus, kecuali S. gallinarum-pullorum yang selalu bersifat
non-motil. Kebanyakan strain bersifat aerogenik, dapat mengguanakan sitrat sebagai
sumber karbon, tidak membentuk H2S (Supardi dan Sukamto, 1999). Suhu optimum
yang mendukung pertumbuhan Salmonella adalah 37°C, tetapi secara umum bakteri
ini tumbuh pada suhu antara 4-45°C dan pada pH antara 4,0-9,0 dengan pH optimum
7,0 (Gast, 1991).
Bakteri ini dapat berkompetisi secara baik dengan mikroba-mikroba yang
umum terdapat di dalam makanan, misalnya bakteri-bakteri pembusuk, bakteri genus
lainnya dalam tribus Eschericiae dan bakteri asam laktat. Oleh karena itu,
pertumbuhannya sangat terhambat dengan adanya bakteri-bakteri tersebut. Bakteri
yang termasuk dalam genus Salmonella tidak dapat dibedakan hanya dari sifat-sifat
biokimia dan morfologinya, sehingga perlu diidentifikasi secara serologik,
berdasarkan skema Kaufmann-White yang membedakan Salmonella berdasarkan
sifat-sifat antigeniknya (Supardi dan Sukamto, 1999).
S. enteritidis disebut juga Bacillus enteritus atau Bacterium enteritidis.
Organisme ini pertama kali diisolasi oleh Gartner pada tahun 1988 dari sebuah kasus
fatal keracunan daging pada manusia. Penelitian selanjutnya yang dilakukan
berdasarkan pengklasifikasian antigen dan tes lainnya, menunjukkan bahwa isolat
adalah satu varietas S. enteritidis (Gordon dan Jordan, 1982).
S. enteritidis merupakan bakteri berbentuk Gram negatif, bergerak dengan
flagel peritrikus, berdiameter tubuh 0,6-0,7 μm dan panjang 2-3 μm, soliter,
berpasangan atau kadang-kadang membentuk rantai yang pendek. S. enteritidis pada
media agar membentuk koloni bulat berwarna abu-abu jernih dengan tepi rata dan
koloninya basah. Umumnya pada media agar Salmonella memiliki diameter 2-4 mm.
Berdasarkan Bergey’s Manual of determinativa Bacteriology (Holt et al., 1994), S.
enteritidis diklasifikasikan sebagai berikut:
Dunia : Procaryota
Divisi : Bacteria
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Enterobacteriaceae
Marga : Salmonella
Spesies : Salmonella enteritidis
Pada uji mikrobiologi pada makanan ini digunakan sampel daging ayam segar
pada pasar modern dan tradisional. Spesifikasi dan persyaratan mutu pada sampel
daging ayam dan RPA sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah sebagai
berikut :
2.7 Karkas Ayam
Karkas ayam pedaging adalah bagian ayam pedaging hidup, setelah dipotong,
dibului, dikeluarkan jeroan dan lemak adominalnya, dipotong kepala dan leher serta
kedua kakinya (ceker) (SNI, 1995).
Klasifikasi karkas berdasarkan cara penanganannya dibedakan menjadi:
1. Karkas segar adalah karkas segar yang baru selesai diproses selama tidak lebih
dari 6 jam dan tidak mengalami perlakuan lebih lanjut
2. Karkas dingin segar adalah karkas segar yang segera didinginkan setelah selesai
diproses sehingga suhu di dalam daging menjadi antara 4o – 5oC
3. Karkas beku adalah karkas yang telah mengalami proses pembekuan cepat atau
lambat dengan suhu penyimpanan antara 12oC sampai dengan suhu 18oC (SNI,
1995).
Berdasarkan cara pemotongan karkas dibedakan menjadi :
1. Karkas utuh
2. Potongan separuh (halves) karkas dibagi menjadi dua potong sama besar
3. Potongan seperempat (quartes) karkas dibagi menjadi empat potong sama besar
4. Potongan bagian-bagian bada (chicken part atau cut up)
5. Debone yaitu karkas ayam pedaging tanpa tulang atau tanpa kulit dan tulang
(SNI, 1995).
Ukuran karkas ditentukan berdasarkan bobotnya. Bobot karkas individual
ditentukan oleh bobot karkas itu sendiri, berdasarkan pembagian sebagai berikut :
1. ukuran kecil 0,8 – 1 kg
2. ukuran sedang 1 – 1,2 kg
3. ukuran besar 1,2 – 1,5 kg (SNI, 1995).
Persyaratan karkas yaitu:
1. Menggunakan ayam hidup yang sehat, sesuai dengan ketentuan peraturan yang
berlaku
2. Pemotongan dilakukan ditempat yang bersih, cukup air berasal dari sumber
berkualitas baik dan khusus
3. Cara pemotongan mengikuti persyaratan agama Islam
4. Pengeluaran darah (bleeding) harus tuntas sehingga ayam benar-benar mati
5. Sebelum pencabutan bulu ayam diseduh (scalding) dengan temperatur 52o – 60oC
selama 3 – 5menit
6. Setelah dilakukan pencabutan bulu, kemudian karkas ayam dicuci dengan air
yang mengalir atau didinginkan (chiling) dengan temperatur 0 – 5oC.
7. Pemeriksaan kesehatan terhadap karkas dilakukan sebelum jeroan dipisahkan dari
tubuh oleh petugas yang berwenang
8. Setelah pemeriksaan dan pencucian, karkas didinginkan (SNI, 1995).
Batas maksimum cemaran mikroba dalam bahan makanan asal hewan
(daging) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) Daging (Dalam
Satuan CFU/gram)
No. Komponen Residu
Batas Maksimum Cemaran Mikroba
(BMCM)
Daging Segar Daging Beku
1. Jumlah Total Kuman (Total Plate Count) 1 x 104 1 x 104
2. Coliform 1 x 102 1 x 102
3. Escherichia coli (*) 1 x 101 1 x 101
4. Enterococci 1 x 102 1 x 102
5. Staphylococcus aureus 1 x 102 1 x 102
6. Clostridium Sp. 0 0
7. Salmonella Sp. (*) Negatif/25gram Negatif/25gram
8. Camphylobacter Sp. 0 0
9. Listeria Sp. 0 0
Sumber : Standar Nasional Indonesia, 2000
(*)Standar Nasional Indonesia 7388:2009
2.8Rumah Pemotongan Unggas
Rumah Pemotongan Unggas adalah kompleks bangunan dengan desain dan
konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta
digunakan sebagai tempat memotong unggas bagi konsumsi masyarakat umum (SNI,
1999).
Lokasi Rumah Pemotongan Unggas perlu memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR) setempat dan/atau Rencana Bagian Wilayah Kota
(RBWK).
2. Tidak berada di bagian kota yang padat penduduknya serta letaknya lebih rendah
dari pemukimam penduduk, tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran
lingkungan.
3. Tidak berada dekat industri logam dan kimia, tidak berada di daerah rawan banjir,
bebas dari asap, bau debu dan kontaminan lainya.
4. Memiliki lahan yang cukup luas untuk pengembangan Rumah Pemotongan
Unggas (SNI, 1999).
Sarana pada Rumah Pemotongan Unggas harus dilengkapi dengan:
1. Sarana jalan yang baik yang dapat dilalui kendaraan pengangkut unggas hidup
dan daging unggas.
2. Sumber air yang cukup dan memenuhi persyaratan baku mutu air minum sesuai
dengan SNI 01-0220-1987. Persediaan air yang minimum harus disediakan yaitu
25-35 liter/ekor/hari.
3. Sumber tenaga listrik yang cukup.
4. Persediaan air yang bertekanan 1,05 kg/cm2 (15 psi) seta fasilitas air panas
dengan suhu minimal 82oC.
5. Kendaraan pengangkut daging unggas (SNI, 1999).
Kompleks Rumah Pemotongan Unggas minimal harus terdiri dari bangunan
utama, tempat penurunan unggas hidup (unloading), kantor administrasi dan kantor
Dokter Hewan, tempat istirahat pegawai, tempat penyimpanan barang pribadi (locker)
atau ruang ganti pakaian, kamar mandi dan WC, sarana penanganan limbah
insenerator, tempat parkir, rumah jaga, menara air, gardu listrik (SNI, 1999).
Pintu masuk unggas hidup sebaiknya terpisah dari pintu keluar daging unggas.
Dalam kompleks Rumah Pemotongan Unggas seyogyanya dilengkapi dengan ruang
pembekuan cepat (blast freezer), ruang penyimpanan beku (cold storage), ruang
pengolahan daging unggas, laboratorium (SNI, 1999).
Ruang pembekuan cepat mempunyai alat pendingin yang dilengkapi dengan
kipas (blast freezer). Suhu di dalam ruang maksimum adalah -35oC dengan kecepatan
udara minimum 2 meter per detik (SNI, 1999).
Ruang penyimpanan beku terletak didaerah bersih dengan suhu maksimum di
dalam ruang adalah -20oC, ruang pengolahan daging unggas juga harus berada di
daerah bersih dengan suhu maksimum -15oC. Letak laboratorium berada di dekat
kantor dokter hewan (SNI, 1999).
Pembagian ruang bangunan utama RPU terdiri dari:
1. Daerah kotor meliputi penurunan, pemeriksaan antemortem dan penggantungan
unggas hidup, pemingsanan (stunning), penyembelihan (killing), pencelupan ke
air panas (scalding tank), pencabutan bulu (defeathering), pencucian karkas,
pengeluaran (evisceration) dan pemeriksaan postmortem, penanganan jeroan.
2. Daerah bersih meliputi pencucian karkas, pendinginan karkas (chiling), seleksi
(grading), penimbangan karkas, pemotongan karkas (cutting), Pemisahan daging
dari tulang (deboning), pengemasan, penyimpanan segar (chiling room) (SNI,
1999).
Sistem saluran pembuangan limbah cair harus cukup besar dan didesain agar
aliran limbah mengalir dengan lancar, terbuat dari bahan yang mudah dirawat dan
dibersihkan, kedap air agar tidak mencemari tanah mudah diawasi dan dijaga agar
tidak menjadi sarang tikus atau rodensia lainnya. Saluran pembuangan dilengkapi
dengan penyaring yang mudah diawasi dan dibersihkan. Di dalam kompleks Rumah
Pemotongan Unggas sistem saluran pembuangan limbah cair harus selalu tertutup
agar tidak menimbulkan bau. Di dalam bangunan utama, saluran pembuangan
dilengkapi dengan grill yang mudah dibuka-tutup dan terbuat dari bahan yang kuat
dan tidak mudah korosif (SNI, 1999).
Saluran pembuangan dari kamar mandi atau WC ini dibuat khusus ke arah
septic tank, tidak menjadi satu dengan saluran pembuangan limbah proses
pemotongan. Sarana Penanganan Limbah harus sesuai dengan rekomendasi Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) (SNI,
1999).
Persyaratan peralatan meliputi:
1. Seluruh perlengkapan pendukung dan penunjang di Rumah Pemotongan Unggas
darus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan
didesinfeksi serta mudah dirawat.
2. Bangunan utama harus dilengkapi dengan sistem rel (railing system) dan alat
penggantung karkas yang didesain khusus dan disesuaikan dengan alur proses.
3. Sarana untuk mencuci tangan harus didesain sedemikian rupa agar tangan tidak
menyentuh kran air setelah selesai mencuci tangan, dilengkapi dengan sabun dan
pengering tangan seperti lap yang senantiasa diganti, kertas tissue atau pengering
mekanik (hand drier). Jika menggunakan kertas tissue, maka disediakan pula
tempat sampah tertutup yang dioperasikan dengan menggunakan kaki
4. Sarana untuk mencuci tangan disediakan tahap proses pemotongan dan diletakkan
ditempat yang mudah dijangkau.
5. Pintu masuk bangunan utama harus dilengkapi sarana untuk mencuci tangan dan
sarana sepatu boot yang dilengkapi sabun, desinfektan dan sikat sepatu.
6. Peralatan yang digunakan untuk menangani perkerjaan bersih harus berbeda
dengan yang digunakan untuk pekerjaan kotor, misalnya pisau untuk
penyembelihan tidak boleh digunakan untuk pengerjaan karkas.
7. Permukaan meja tempat penanganan atau pemrosesan produk tidak terbuat dari
kayu, tidak toksik, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan, mudah mengering dan
dikeringkan.
8. Bahan dasar kemasan harus bersifat tidak toksik, kedap air dan tidak mudah rusak
atau terpengaruh sifatnya oleh produk makanan yang dikemasnya maupun
komponen bahan pembersih.
9. Untuk peralatan yang tidak dapat dibongkar pasang dengan mudah sarana
pembersihan dan desinfeksi dilakukan dengan metode pembersihan tempat (clean
in place).
10. Mesin pencabut bulu dan alat semprot pencuci karkas harus ditempatkan dan
didesain sedemikian rupa sehingga percikan air, bulu-bulu atau bahan-bahan yang
dapat berperan sebagai kontaminan karkas dapat dihindarkan penyebarannya ke
daerah sekitarnya..
11. Bagi setiap karyawan disediakan lemari yang dilengkapi kunci pada ruang ganti
pakaian untuk menyimpan barang-barang pribadi.
12. Perlengkapan standar untuk pekerja pada proses pemotongan dan penanganan
daging adalah pakaian kerja khusus, apron plastik, penutup kepala, penutup
hidung dan sepatu boot (SNI, 1999).
Persyaratan higiene karyawan dan perusahaan meliputi:
1. Rumah Pemotongan Unggas harus memiliki peraturan untuk semua karyawan dan
pengunjung agar pelaksanaan sanitasi dan higiene rumah pemotongan unggas dan
higiene produk tetap terjaga baik
2. Setiap karyawan harus sehat dan diperiksa kesehatannya secara rutin minimal satu
kali dalam setahun.
3. Setiap karyawan harus mendapat pelatihan yang berkesinambungan tentang
higiene dan mutu.
4. Daerah kotor atau daerah bersih hanya diperkenakan dimasuki oleh karyawan
yang bekerja di masing-masing tempat tersebut, dokter hewan dan petugas
pemeriksa berwenang.
5. Orang lain (misalnya tamu) yang hendak memasuki bangunan utama Rumah
Pemotongan Unggas harus mendapat izin dari pengelola dan mengikuti peraturan
yang berlaku (SNI, 1999).
Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner serta pemeriksaan antemortem
dan postmortem di Rumah Pemotongan Unggas dilakukan oleh petugas pemeriksa
berwenang, setiap rumah pemotongan unggas harus mempunyai tenaga dokter hewan
yang bertanggung jawab terhadap dipenuhinya syarat-syarat dan prosedur
pemotongan unggas, penanganan daging serta sanitasi dan higiene, dalam
melaksanakan tugasnya sebagai dokter hewan dapat ditunjuk seorang yang memiliki
pengetahuan di dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner yang bekerja di bawah
pengawasan dokter hewan (SNI, 1999).
Persyaratan kendaraan pengangkut daging unggas meliputi;
1. Boks pada kendaraan untuk mengangkut daging unggas tertutup.
2. Lapisan dalam boks pada kendaraan pengangkut daging harus terbuat dari bahan
yang tidak toksik, tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi,
mudah dirawat serta mempunyai sifat insulasi yang baik.
3. Boks dilengkapi dangan alat pendingin yang mempertahankan suhu bagian dalam
daging unggas segar maksimum +4oC.
4. Suhu ruangan dalam boks kendaraan pengangkut daging unggas beku maksimum
adalah -18oC (SNI, 1999).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Eschericia coli. http://id.wikipedia.org/wiki/Eschericia coli. Diakses
tanggal 17 Juni 2011.
Anonim. 2009. Samonella. http://id.wikipedia.org/wiki/Salmonella. Diakses tanggal
23 Juni 2011.
Anonim, 2010. http://leonheart94.blogspot.com/2010/02/bakteri.html. Diakses
tanggal 23 Juli 2011
Anonim. 2011. Media. blogs.unpad.ac.id/annisaprimadiamanti/files/2011/05/TAHAYATI.
pdf. Diakses tanggal 19 Juni 2011
Arifah, I.N. 2010. Analisis Mikrobiologi pada Makanan. Program studi Teknologi
Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan
(Terjemahan dari Bahasa Inggris oleh H. Purnomo dan Adiono). Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
BPOM. 2008. Pengujian Mikrobiologi Pangan. http://www.pilciran-rakyat.com.
Diakses tanggal 17 Juni 2010.
BPOM RI. 2006. Metode Analisis Mikrobiologi Suplemen 2000. Pusat Pengujian
Obat Dan Makanan Badan Pengawasan Obat Dan Makanan Republik
Indonesia, Jakarta.
Brooks G.F, J.S. Butel, S.A. Morse. 2005. Medical Microbiology. McGraw-Hills
Companies Inc.
Cappuccino, J.G., dan N. Sherman. 2008. Mikrobiology : A Laboratory Manual: The
Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. California.
Depkes RI. 1997, Metode Pengambilan Contoh Air dan Pemeriksaan Bakteriologi
Air, Seri B-1, Laboratorium Kesehatan Daerah, Semarang.
Dewan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3924-1995 tentang Mutu Karkas dan
Daging Ayam Pedaging. Departemen Pertanian, Jakarta.
_______________________. 1999. SNI 01-6160-1999 tentang Rumah Pemotongan
Unggas. Departemen Pertanian, Jakarta.
36
_______________________. 2000. SNI 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum
Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal
Hewan, Jakarta.
_______________________. 2009. SNI 7388:2009 tentang Batas maksimum
cemaran mikroba dalam pangan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Firmansyah, B. 2010. Media Selektif dan Media Diferensial.
http://cacingbusuk.blogspot.com/2010/05/media-selektif-dan-media
differensial.html . Diakses tanggal 23 Juni 2011.
Gast, K.R. 1991. S. enteritidis. Dalam: B.W. Calnek, W.B. Charles, R.N.D. Larry,
dan Y.M. Saif. (Editors). Disease of Poultry.10th Edition. IOWA State
University Press, Iowa, USA.
Gordon, R.F. dan T.W. Jordan. 1982. Poultry Disease. 2nd Edittion. Bailliere Tindall,
London
Hadiwiyoto, S. 1994. Tehnik Uji Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Liberty.
Yogyakarta.
Hariyadi RD. 2005. Bakteri Indikator Sanitasi dan Keamanan Air Minum.
http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_fdsf_bctrindktr.php. Diakses tanggal 23
Juni 2011.
Holt, J. G., N. R. Krieg, P. H. A. Sneath, J. T. Staley dan S. T. Williams. 1994.
Bergey’s Menual of Determinative Bacteriology. 9 th Edition. A Wolters
Kluwer Company, Philadelphia.
Irianto, K. 2006, Menguak Dunia Mikroorganisme, Jilid 2, hal 17-20, CV. Yrama
Widya Margahayu Permai, Bandung.
Lay, B.W. dan S. Hastowo. 1992. Mikrobiologi. CV. Rajawali, Jakarta.
Lindquist, J. 1998. Salmonella-General Aspects and Nomenclature. Laboratory
Manual for the Food Microbiology Laboratory at University of Wisconsin-
Mandison.
Pradhika, E.I. 2008. Aktivitas Enzim Mikrooorganisme. http://ekmonsaurus.
blogspot.com/2008/11/bab-9-aktivitas-enzimatis.html. Diakses pada
tanggal 19 Juni 2011.
37
Nugroho, W.S. 2005. Tingkat cemaran Salmonella Sp. pada telur ayam ras di tingkat
peternakan Kabupaten Sleman Yogyakarta. Prosiding Lokakarya Nasional
Keamanan Pangan Produk Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Supardi dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan.
Penerbit Alumni, Bandung.
Wasitaningrum, DI. 2009. Uji Resistensi Bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli dari Isolat Susu Sapi Segar Terhadap Beberapa Antibiotik.
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Widiyanti N.L.P., dan N.P. Ristiati, 2004. Analisis Kualititatif Bakteri Koliform pada
Depo Air Kota Singaraja Bali. Jurnal Ekologi Kesehatan. Singaraja, Bali.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 coment:
Posting Komentar
Berikan Pendapat atau Argumen Anda...!!!